Palembang, Gatra.com- Kasus kekerasan yang menimpa jurnalis Nurhadi di Surabaya, Jawa Timur (Jatim) menjadi perhatian disejumlah daerah salah satunya di Sumsel. Kondisi tersebut membuktikan bahwa kebebasan pers di Indonesia belum terpenuhi.
Demikian terungkap dalam aksi yang digelar oleh Koalisi Kemerdekaan dan Kebebesan Jurnalis (KKKJ) di Bundaran Air Mancur Palembang, Kamis (1/4).
Kepala Internal LBH Palembang, Tamsil mengatakan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Jatim diduga dilakukan oleh aparat. Karena itu, dia pun mendesak agar kasus tersebut diproses secara hukum, karena melanggar pasal 170 KUHP dan UU Pers.
"Kami menilai kondisi tersebut ada tindakan pidana yang dilakukan oleh terduga yakni aparat," katanya, Kamis (1/4).
Menurutnya, meliput dan mencari berita serta menyampaikan ke publik merupakan hal asasi pers. Dimana, mereka merupakan pejuang informasi dan mereka mempunyai kebebasan. Namun, mereka terkadang masih menerima kekerasan.
Dia pun menuntut agar negara harus punya perlindungan terhadap pers dan jurnalis. Sehingga, menghentikan tindakan kekerasan terhadap pers. "Kami melihat saat masih tetap ada tindakan kekerasan terhadap jurnalis. Jadi ini harus distop," tegasnya.
Dia menilai saat ini pers belum merdeka dan belum mendapatkan kebebasan seluas-luasnya berdasarkan demokrasi. Bahkan, saat ini juga dibatasi seperti UU ITE dan kriminalisasi hingga pencemaran nama baik. "Artinya selama ini di lapangan. Kebebasan pers belum terpenuhi," tutupnya.
Sementara itu, Ketua AJI Palembang, Prawira Maulana didampingi Koordinator Lapangan (Korlap) Aji YK Putra mengatakan aksi yang dipelopori Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang ini untuk menyampaikan tiga tuntutan yakni;
1. Menuntut Kapolda Jawa Timur, Irjen Nico Afinta Polda Jawa Timur mengusut tuntas kasus kekerasan yang menimpa jurnalis Tempo, Nurhadi sesuai hukum yang berlaku. Keseriusan Polda Jatim dalam menindak para pelaku kekerasan menjadi bukti profesionalisme Kepolisian ke depan.
2. Meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan jajarannya untuk memberikan perlindungan terhadap jurnalis yang melakukan kerja-kerja jurnalistik.
3. Mengingatkan kepada aparat penegak hukum khususnya di Sumsel dan masyarakat bahwa kerja-kerja jurnalistik dilindungi oleh Undang-undang Pers.
"Kita sigap meminta perlindungan para pekerja media. Terutama Kapolda Sumsel untuk tidak melakukan hal sama terhadap semua jurnalis," orasinya dalam aksi.
Menanggapi aksi tersebut, Direktorat Intel Polda Sumsel, Ratno Kuncoro mengaku prihatin atas kasus kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis Tempo Nurhadi. Saat ini, pihak kepolisian daerah dan nasional telah melakukan penelitian dengan koordinasi langsung bersama Polda Jatim untuk melakukan pengusutan kasus.
"Kabareskrim juga sudah bertindak tegas untuk menyelidiki secara tuntas. Hal ini juga dilaporkan dengan komnas HAM. Kami berharap rekan-rekan tetap melakukan aktivitas jurnalisme dengan mematuhi kode etik pers, termasuk menghargai asas praduga tak bersalah. Jika menemui perlakuan-perlakuan tidak menyenangkan silahakan lakukan pengaduan," katanya.
Dia menilai pers sebagai pilar demokrasi keempat yang juga penting untuk memberikan informasi mengenai dinamika masyarakat. "Aksi ini kami terima dengan baik. Karena ini merupakan kebebasan berpendapat dan dijamin oleh UU Pers," tutupnya.
Untuk diketahui, aksi ini juga diikuti organisasi lainnya yakni Pewarta Foto Indonesia (PFI) Sumsel, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumsel, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), LPM Ukhuwah UIN Raden Fatah, LPM Warta Politeknik Negeri Sriwijaya (WPS) Polsri, LPM Fitrah UMP, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Hutan Kita Institut (Haki) dan Perkumpulan Lingkar Hijau (PLH).