Jakarta, Gatra.com – Peneliti dari Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Iman Nur Subono, menilai, kesulitan perempuan untuk berada di kancah politik diakibatkan oleh melekatnya budaya patriarki.
Pria yang kerap disapa Boni ini, menyebutkan, kalau politik formal masih bias gender. Politik formal yang merupakan sektor publik dianggap sebagai sektor yang cocok bagi laki-laki ketimbang perempuan dengan anggapan bahwa perempuan bertugas di ranah domestik atau rumah tangga.
Kurangnya partisipasi perempuan di ranah politik formal, menurut Boni, juga disebabkan oleh anggapan bahwa sektor politik adalah tempat yang keras dan kejam. Anggapan ini bersinggungan dengan pandangan di masyarakat mengenai perempuan sebagai makhluk yang emosional serta lembut.
Boni menyebutkan, anggapan bahwa politik merupakan tempat bagi laki-laki adalah konstruksi sosial yang tidak bisa dibenarkan. "Karena politik sering dianggap sebagai domain laki-laki, dan ini konstruksi sosial. Ini lebih banyak mitosnya," ucap Boni dalam diskusi daring yang diadakan LP3ES pada Selasa (30/3).
Sementara itu, Akademisi dan Penulis buku “Resistensi Perempuan Parlemen”, Misbah Zulfa Elizabeth, menyebutkan bahwa nilai patriarki yang ada di masyarakat juga hadir di kepengurusan partai.
Eli mencontoh kasus kekerasan yang dialami perempuan, yakni pengalaman seorang kader perempuan dari suatu partai politik. Ia dipindahkan dari daerah pemilihan (dapil) yang menguntungkan ke dapil yang tidak meunguntungkan karena posisinya diganti oleh calon lain yang outstanding. Hal ini membuatnya tidak lolos menjadi anggota legislatif.
Tradisi di dalam partai seperti rapat di waktu malam juga menjadi masalah yang menyulitkan bagi kader perempuan. Menurut Eli, budaya membuat perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan mengenai tanggung jawab di waktu malam. Laki-laki menurutnya lebih berkesempatan mengikuti kegiatan partai di waktu malam ketimbang perempuan.
“Sementara fenomena yang umum juga, aktivitas partai itu bukan aktivitas seperti kantoran yang masuk pagi, pulang siang, gak gitu. Kapanpun mereka bisa kumpul bahkan malam hari," ujarnya.
Patriarki menurut Eli, membuat protes yang dilakukan oleh perempuan tentang tradisi-tradisi di partai politik bentukan laki-laki ini tidak menghasilkan apa-apa.
Adapun tindakan-tindakan yang menimpa kader perempuan di partai politik tersebut membuat mereka memilih untuk berhenti berkecimpung di dunia politik.
“Karena sudah dikecawakan berkali-kali, akhirnya ada juga yang keluar. Beberapa temen sih, keluar [partai],” tutur Eli.
Partai memang memberikan afirmasi bagi perempuan dan itu termasuk ke dalam prosedur partai itu sendiri. Meski begitu, implementasinya tidak berjalan di daerah.
Perempuan sebenarnya memiliki peran penting di kancah politik. Selain bagian dari keadilan dan kesetaran, Boni menyebutkan bahwa perempuan diperlukan di dunia politik karena bisa memberikan perbedaan, menjadi panutan bagi orang lain, membongkar praktik budaya patriarki, dan mengatasi kepentingan yang tidak bisa dipegang laki-laki.
“Perempuan memiliki kepentingan yang berbeda. banyak kepentingan kasus-kasus perempuan yang tidak bisa diwakilkan oleh laki-laki,” ucap Boni.