Home Kesehatan Keragaman Hayati Modal Indonesia Mandiri Obat

Keragaman Hayati Modal Indonesia Mandiri Obat

Jakarta, Gatra.com – Guru Besar Mikrobiologi dan Bioteknologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Amarila Malik, mengatakan, Indonesia harus mempunyai kemandirian dalam pengembangan dan penyediaan obat-obatan, juga teknologi medis.

Amarila dalam keterangan pers yang diterima Gatra.com di Jakarta pada Senin (29/3), menyampaikan, Indonesia mampu mewudkan itu karena mempunyai keragaman hayati untuk komponen produk farmasi.

Menurutnya, keragaman hayati ini mulai dari bahan aktif obat, eksipien, bahan tambahan, reagens, enzim, sistem ekspresi, hingga system assays.

"Melalui kemandirian bahan baku, kemandirian riset dan pengembangan, serta kemandirian produksi, kita dapat membangun kemandirian obat asli Indonesia," ujarnya.

Amarila menyampaikan pandangan tersebut merespons pengantar Ketua Majelis Wali Amanat UI (MWA UI) yang juga Managing Director Sinar Mas, Saleh Husin, dalam webinar "Ketahanan dan Kemandirian Kesehatan Indonesia"gelaran MWA UI bersama Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Dan Inovasi Nasional.

Saleh menyampaikan, pandemi Covid-19 menjadikan obat herbal asal Tiongkok sangat populer dalam membangun daya tahan tubuh. Ini semestinya mampu dilakukan Indonesia dengan khazanah obat herbal tradisional yang kaya.

Menurut Amarila, langkah yang dapat ditempuh adalah melalui pembangunan infrastruktur bioteknologi terintegrasi yang mewadahi seluruh ekosistem industri farmasi secara menyeluruh atau high throughput system.

Dengan demikian, ini memacu hadirnya lebih banyak perusahaan farmasi, berbarengan dengan dukungan riset yang mumpuni. Ketersediaan stimulus ekonomi dari pemerintah dapat mendorong langkah pengembangan secara berkelanjutan.

"Hasil riset dapat berlanjut dari skala laboratorium, ke skala bench, lalu skala pilot sebelum ke skala industri. Para pihak perlu menyepakati, siapa yang berperan dan bagaimana pembagian tanggung jawabnya," kata Amarila.

Sementara itu, Dekan Fakultas Teknik UI, Dr. Ir. Hendri D.S. Budiono, menilai kemampuan sumber daya manusia Indonesia berinovasi dalam bidang teknologi kesehatan tidak kalah dengan negara maju.

Senada dengan Amarila, ia menyarankan langkah inovasi alat-alat kesehatan dilangsungkan melalui model triple helix, sehingga kalangan akademik bergerak bersama sektor privat dengan dukungan pemerintah.

"Akselerasi dapat dilakukan melibatkan media massa dalam mendiseminasikan dan mempromosikan inovasi tersebut, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap produk yang tengah dikembangkan menguat. Dampak pendekatan penta helix ini, kecintaan terhadap produk dalam negeri turut meningka," ujarnya.

Terkait kemandirian layanan kesehatan, Dekan Fakultas Kedokteran (FK) UI, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, menyampaikan pentingnya penyelenggara pendidikan kedokteran di Indonesia untuk segera melakukan adaptasi, namun terukur sesuai situasi pandemi.

Ia tak meragukan komitmen serta motivasi para mahasiswa untuk hadir di fasilitas pelayanan kesehatan guna menjangkau publik. Terlebih lagi, ada proses pendidikan yang harus dilaksanakan secara langsung, atau offline.

Menurut Ari Fahrial, butuh keberanian dan keterbukaan antara para pihak, baik pihak kampus maupun pengelola rumah sakit dalam memfasilitasi mahasiswa kedokteran berpraktik.

"Misalnya, pihak rumah sakit membedakan pasien-pasien yang masuk kategori merah atau kuning, sehingga kita merasa aman ketika menempatkan mahasiswa di sana," ujarnya.

216