Jakarta, Gatra.com - Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto menjelaskan, pasukan siber yang ada dalam dukungan berbagai kasus kebijakan bermasalah merupakan refleksi premanisme digital. Wijayanto mencontohkan berbagai teror yang dialami aktivis pro demokrasi.
"Kasusnya yang belum terungkap hingga hari ini menciptakan kesan seolah negara justru membiarkannya, jika bukan malah mendukungnya," katanya dalam diskusi daring bertema Premanisme Politik, Kekerasan, dan Kemunduran Demokrasi pada Senin (29/3).
Dia berpendapat, ada tiga jenis pasukan siber, yaitu buzzer, influencer, dan robot. Buzzer merupakan akun di media sosial yang tidak punya profil asli. "Karena samaran, biasanya tulisan-tulisan mereka sangat menyerang," ungkap Wija. Adapun influencer punya profil asli. Biasanya lebih halus dan sopan, tapi bisa juga menjadi sangat menyerang. Sedangkan robot ialah akun yang dijalankan mesin.
Dalam berbagai kasus, munculnya tsunami percakapan di medsos saat ada kebijakan bermasalah bisa dipakai untuk mendeteksi keberadaan pasukan siber. Misalnya pada kasus revisi UU KPK. Ada lebih setengah juta percakapan di Twitter dalam sepekan.
"Salah satu yang menonjol ialah menyamakan KPK dengan Taliban, dalam rangka mendukung wacana bahwa KPK pantas direvisi. Selanjutnya mereka membangun narasi ini supaya menjadi perhatian publik dan pemberitaan media mainstream," jelasnya.
Hal serupa juga dapat dilihat pada kasus new normal, UU Cipta Kerja, dan Pilkada di masa pandemi. Dia mencatat pada kasus UU Cipta Kerja bahkan mencapai 2,8 juta percakapan hanya dalam 15 hari. Sedangkan pada kasus new normal mencapai 1,3 juta percakapan dalam 3 pekan.
Menurutnya, ada percakapan yang cukup tinggi untuk mendukung beberapa kasus tadi. Mereka bahkan tidak segan-segan menggunakan kata-kata ofensif terhadap pihak yang mengkritisi kebijakan tersebut.
"Pada akhirnya, protes tersebut kemudian menurun karena ada pasukan siber yang menyerang mereka yang kritis terhadap kebijakan Pemerintah," katanya.