Semarang, Gatra.com – Pemerintah menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari daftar limbah B3 alias bahan berbahaya dan beracun. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pengamat Lingkungan Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof. Dr. Ir. Syafrudin, CES, M.T mengatakan, dari sisi sustainability consumption and production, FABA ini mempunyai potensi circular economy yang bagus.
Menurutnya, paving block geopolimer merupakan salah satu alternatif pemanfaatan limbah fly ash menjadi produk bahan bangunan yang ramah lingkungan. “Berbeda dengan paving block biasa yang menggunakan semen sebagai bahan pengikatnya, paving block geopolimer dihasilkan dengan sepenuhnya mengganti semen portland,” ujarnya, dalam Webinar “Abu Batubara (FABA) Tidak Lagi B3, Apa Artinya?” yang digelar GATRA Jawa Tengah, Senin (29/3).
Dalam paving block geopolimer unsur-unsur Si dan Al yang terkandung dalam fly ash akan bereaksi secara kimia sehingga membentuk binder yang berfungsi sebagai bahan pengikat pada paving block.
“Paving block geopolimer, kuat tekan tertinggi didapatkan pada paving block dengan variasi 16 M, sedangkan kuat tekan terendah dimiliki oleh paving block dengan variasi 8 M,” jelasnya.
Bahkan tahun 2008 lalu, dirinya bersama dosen lain Misbachul Munir, dan Danny Sutrisnanto telah melakukan penelitian pemanfaatan FABA ini. “Yakni untuk hollow block yang bermutu dan aman bagi lingkungan,” terangnya.
Ketua Pusat Kajian Sumberdaya Bumi Non-Konvensional (UGRG) FT Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Ferian Anggara menjelaskan, sampai saat ini, bahkan hingga 2050, pembangkit listrik masih tergantung pada batu bara. Artinya, jika berbicara mengenai pembangkit listrik, maka akan membicarakan FABA. “Satu PLTU, timbunannya banyak. Padahal ini kita bicara PLTU dari Sabang sampai Merauke, di mana mayoritas memakai batu bara,” jelasnya.
Sejauh ini, realisasi konsumsi batu bara tahun 2019 mencapai 138,42 juta ton untuk kelistrikan, semen, tekstil, dan lainnya. Estimasi FABA yang dihasilkan 9,7 juta ton 2019. Adapun kebutuhan hingga 2025 sekira 493 juta ton, dengan estimasi FABA sampai 2050 mencapai 49,3 juta ton. “Sehingga apa yang harus kita lakukan? Hanya biarkan menjadi tumpukan-tumpukan atau memanfaatkannya? Itu yang baru dari PLTU,” katanya.
Pemerhati Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) perlu segera melakukan rapat koordinasi dengan Kementerian ESDM untuk membuat petunjuk teknis pelaksanaan PP No. 22 Tahun 2021
“Siapkan komunikasi yang akurat dan ada dimana-mana untuk mendidik siapa saja soal FABA. Jelaskan kepada publik dengan baik. Jika masih ada yang meragukan, lengkapi dengan bukti-bukti bahwa PLTU sudah bisa mengolah FABA ini, atau perusahaan lain,” terangnya.
Agus menilai, penumpukan FABA bisa menjadi sumber pemerasan atau korupsi oknum aparat keamanan maupun aparat Pemda. Selain itu, beban mengelola FABA dan biaya transportasi FABA memberatkan konsumen dan negara. “Karenanya tentu akan lebih baik FABA ini dimanfaatkan, karena mempunyai nilai ekonomi sosial yang tinggi,” tandasnya.