Home Gaya Hidup Sadranan di Astana Kuntul Nglayang Terapkan Prokes

Sadranan di Astana Kuntul Nglayang Terapkan Prokes

Kendal, Gatra.com - Menjelang bulan puasa, kerabat keraton Surakarta menggelar sadranan atau memanjatkan doa bersama di makam Raden Mas Bagus Panembahan Senopati Pangeran Juminah yang terletak di Astana Kuntul Nglayang Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal Jawa Tengah.
 
Tradisi sadranan yang dilakukan dengan memanjatkan doa kepada arwah leluhur digelar oleh keturunan atau kerabat  keraton, sepertihalnya di lakukan oleh  kerabat keraton Kendal Bahureksan.
 
Para kerabat keraton dengan mengenakan pakaian adat keraton memanjatkan doa dengan membaca  tahlil di makam Pangeran Juminah.
 
Pada umumnya, acara sadranan di makam Pangeran Juminah digelar dengan kirab gunungan yang berisi nasi tumpeng, buah-buahan, sayuran dan jajanan pasar. Gunungan ini kemudian diarak keliling kampung dengan iringan rebana dan musik tradisional drum blek khas Kaliwungu, lalu menjadi rebutan warga yang diyakini membawa berkah.
 
Namun, kondisi pandemi menyebabkan sadranan digelar terbatas, panitia membatasi tamu undangan maupun kerabat keraton yang hadir dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan.
 
Sadranan kali ini digelar berbeda, hanya dilakukan seremonial dengan sambutan penjabat dan pihak penyelenggara sambil menikmati berbagai sajian  seperti umbi-umbian dan buah-buahan.
 
Ketua Yayasan Kanjeng Panembahan Pangeran Juminah, Raden Ajeng Latifah Retno Pertiwi mengatakan, sadranan merupakan upaya nguri-uri (melestarikan) budaya jawa sekaligus mendoakan para leluhur yang sudah mendahului dan ini dilakukan turun temurun.
 
"Kata sadra berasal dari bahasa sansekerta bermakna ziarah kubur, sedangkan dalam bahasa kawi disebut sraddha atau peringatan kematian seseorang," kata Latifah, Minggu (28/3).
 
Dikatakan, awalnya sadran memang dikenal sebagai peringatan hari kematian raja yang telah mangkat seperti, kematian penguasa ketiga kerajaan Majapahit, Tribhuwana Wijaya Tunggadewi pada tahun 1350 masehi yang menorehkan sejarah digelarnya upacara sraddha.
 
Sementara, Ketua umum Kerabat Keraton Kendal Bahureksan, Kanjeng Raden Aryo Tumenggung Hamaminata  Nitinegoro mengatakan, sadranan ini merupakan tradisi tiap menjelang bulan puasa ramadan.
 
"Beberapa tradisi Hindu-Buddha dibiarkan tetap hidup dimasyarakat. kendati begitu ada perubahan makna seperti ritual sadran misalnya, jika sadran dikenal untuk memperingati kematian seseorang dan memuja arwah leluhur, pada abad 15 sadran hanya ziarah kubur yang dihiasi dengung tahmid dan dzikir," terangnya.
 
 
576