Singapura, Gatra.com- Seorang Blogger Singapura Dituntut Membayar Denda sekitar 1,5 milyar sebagai ganti rugi karena telah memfitnah perdana menteri dengan membagikan sebuah artikel di Facebook yang mengaitkan pemimpin tersebut dengan skandal korupsi.
Perdana Menteri Lee Hsien Loong menuntut Leong Sze Hian karena menyebarkan berita bohong tentang dirinya atas artikel terkait skandal pencucian uang di dana 1MDB Malaysia.
Hakim Pengadilan Tinggi, Aedit Abdullah memerintahkan hukuman kepada Leong sebesar 133.000 dolar Singapura (sekitar 1,5 M rupiah). Sebelumnya, Perdana Menteri mengajukan tuntutan sebesar 150.000 dolar Singapura. "Saya tentu saja kecewa," ujar Leong setelah persidangan.
"Tapi saya senang bahwa ... cobaan berat saya telah sampai pada titik ini, saya berharap ini adalah terakhir kalinya ada politisi mana menuntut warga biasa karena pencemaran nama baik."
Dia juga mengimbau masyarakat untuk bantu menyumbang menutupi nominal hukaman yang harus ia bayarkan. Pengacara Leong, Lim Tean, menggambarkan putusan itu sebagai "keputusan yang keliru dan sangat cacat".
Perdana menteri mengambil sikap membawa masalah ini ke persidangan pada Oktober lalu, menurutnya Leong telah membuat tuduhan jahat dan tidak berdasar, yang telah merusak integritas dan kejujuran pemerintah.
Artikel yang dibagikan Leong, awalnya diterbitkan di portal berita Malaysia, menuduh bahwa Lee menjadi sasaran penyelidikan di negara tetangga Malaysia atas dana 1MDB.
Miliaran dolar dijarah dalam skandal yang melibatkan mantan pemimpin Malaysia Najib Razak beserta lingkaran kekuasaanya.
Pengacara Leong, Lim Tean, berpendapat gugatan pencemaran nama baik itu tidak perlu karena pihak berwenang telah membantah tuduhan tersebut.
Ia menambahkan bahwa perdana menteri telah memilih terdakwa ketika ada banyak orang lain yang telah membagikan artikel pencemaran nama baik tersebut.
Kelompok hak asasi sering menuduh pihak berwenang Singapura menggunakan undang-undang yang keras untuk membungkam kritik.
Pada 2019, otoritas Singapura memberlakukan undang-undang yang melarang misinformasi online, yang memungkinkan para pejabat untuk memerintahkan pemblokiran postingan media sosial yang mereka anggap salah. Undang-undang tersebut terus menuai kritik karena dianggap akan merampas kebebasan berbicara.