Jakarta, Gatra.com – Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat tahun 2020 bisa digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena diduga cacat prosedur.
"Hasil perubahan yang sudah disahkan oleh Menkum HAM masih terbuka peluang untuk mengajukan gugatan," kata Laksanto Utomo, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) dalam webinar bertitel "Mengembalikan Khitoh Peran Patai Politik dalam Sistem Hukum Indonesia" pada Rabu (25/3).
Laksanto menyampaikan pandangan tersebut setelah menganalisa AD/ART Partai Demokrat tahun 2020 dan hasil penelusuran dari berbagai sumber informasi, termasuk pemberitaan media.
"Perubahan penetapan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Partai Demokrat 2020 patut diduga dibuat di luar mekanisme forum kongres," ujarnya.
Meski demikian, lanjut pria yang juga mengajar di Usahid Jakarta ini, dugaan tersebut perlu penelitian lebih lanjut secara mendalam pada AD/ART 2020 karena perubahannya tidak sesuai AD/ART tahun 2005 dan UU Nomor 2 Tahun 2011.
"Perubahan anggaran dasar anggaran/rumah tangga 2020 itu tidak transparan dan tidak dibuat sesuai Ad/ART 2005, dan UU Parpol maka niscaya AD/ART patut diduga mempunyai cacat prosedur," ujarnya.
Ia menyampaikan, pada alinea ke-10 AD/ART Demokrat tahun 2020, intinya memosisikan Sulilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ventje Rumangkang sebagai pendiri atau founding father partai.
Alinea 10 tersebut patut dipertanyakan. Pasalnya, berdasarkan hasil penelusuran bahwa pada 9 September 2001, bertempat di Gedung Graha Pratama, lantai 11, Jakarta Selatan, bahwa sebanyak 46 dari 99 orang menyatakan bersedia menjadi pendiri partai.
Adapun yang hadir dan menandatangani sebanyak 53 orang. Sisanya tidak hadir dan memberikan kuasa kepada Vetje Rumangkang. Berdasarkan akte pendirian tersebut di hadapan notaris, secara yuridis pendiri Partai Demokrat sebanyak 99 orang.
"Dengan demikian, poin 10 Partai Demokrat versi 2020 ini patut diduga sengaja hanya mengakui Susilo Bambang Yudhoyono dan Ventje Rumangkang dengan menghilangkan atau menghapus 97 orang Partai Demokrat," katanya.
AD/ART Partai Demokrat yang berlaku selama 5 tahun itu, jika ditelaah terdapat bahwa ketua majelis tinggi partai dijabat ketua Umum Partai Demokrat.
Kemudian, didominasi majelis tinggi partai. Bahwa Pasal 17 AD/ART-nya kita juga melihat, jika dicermati, substasi ketua majlis tinggi partai memiliki kewenangan yang terlalu dominan, bahkan sejajar dengan lembaga tinggi dan kongres Partai Demokrat, sehinga mengisyaratkan adanya atmosfer yang kurang demokratis.
Menurunya, ini tidak demokratis karena menghilangkan kesempatan kader untuk menjabat petinggi partai, terdapat dominasi kekuasaan majelis tinggi yang melampaui ketua umum dan suara anggota, serta rigid dan tidak logis nampak dalam penempatan jabatan ketua dan wakil ketua majelis tinggi.
Selain itu, rangkap jabatan dari wakil ketua majelis tinggi partai, sekaligus Ketum sangat tidak logis dan mencederai demokrasi. Ini sungguh tidak logis karena ketua umum dan pelaksana keputusan majelis tinggi partai.
"Nah, ini berarti wakil ketua majelis tinggi juga berpotensi dapat memerintahkan dirinya sendiri dalam kedudukan sebagai ketua umum Partai Demokrat," katanya.
Sedangkan untuk Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut), Laksanto menilai bahwa itu terjadi karena dinamika di Partai Demokrat sebagai reaksi atas adanya aksi dari beberapa pengurus atau kelompok pengurus yang mengubah AD/ART Partai Demokrat tahun 2005 menjadi AD/ART tahun 2020.
"Kongres Luar Biasa berdasarkan Pasal 81 AD/ART partai versi 2020, pada pokoknya KLB tersebut kewenangan dan kekuasaan yang sama dengan kongres ayat 2, berwenang untuk meminta dan menilai dan pertanggungan jawab," katanya.
Pemilihan dan penetapan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat adalah berdasarkan KLB Sibolangit dan berpedoman pada AD/ART Partai Demokrat 2005. "Oleh sebab itu, secara normatif kedudukan Moeldoko sebagai Ketum Demokrat berlandaskan pada AD/ART 2005 itu adalah sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," ujarnya.
Senada dengan Laksanto, Ketua Program Doktoral Universitas Borobudur Jakarta, Prof. Faisal Santiago, mengatakan, sesuai Undang-Undang Partai Politik, pengadilan merupakan jalan terakhir jika partai tidak bisa lagi menyelesaikan konflik internal.
"Makanya dalam UU Politik itu dibuat mahkamah partai. Artinya, apabila ada konflik maka diselesaikan oleh mahkamah partai setelah musyawarah mufakat yang ada di partai tersebut tidak bisa menyelesaikan," katanya.
Jika kemudian mahkamah partai juga tidak bisa menyelesaikan, maka diselesaikan melalui ranah hukum. "Ranah hukumlah yang akan melihat bagaimana mengenai penyelesaian hukum," ujarnya.
Menurut Faisal, jalur hukum ini sangat penting dan terbaik untuk mengakhiri permasalahan. Bagaimana hukum menyelesaikannya, serahkan kepada pengadilan yang independen dan mandiri untuk memutusnya.
Sedangkan soal masalah pencatatan dan pengakuan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), kata Faisal, Kemenkum HAM hanya melihat sebatas mana data-data yang ada.
"Kalau memang data-datanya sesuai dengan norma hukum yang berlaku dalam ketentuan partai, saya pikir tidak ada salahnya Kemenkum HAM untuk mengesahkan atau mengakomodir pengurus partai tersebut," katanya.
Konflik internal partai politik di Indonesia bukan barang baru. Hampir semua parpol mengalaminya. "Artinya, pada ending-nya adalah bahwa penyelesaian melalui jalur pengadilan, melalui jalur hukum," katanya.