Yogyakarta, Gatra.com – Teori konspirasi bahwa vaksinasi Covid-19 adalah cara perusahaan farmasi mencari untung paling banyak dipercaya warganet. Teori konspirasi dan kabar bohong di media sosial turut berpengaruh terhadap persepsi atas vaksin.
Hal itu disampaikan peneliti Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (CfDS UGM) Amelia Pandu Kusumaningtyas dalam jumpa pers daring ‘Dampak Sosial Media dalam Membangun Persepsi Masyarakat atas Kebijakan Vaksinasi Covid-19’, Rabu (24/3.)
“Ternyata 81,5 persen responden pernah mengetahui atau terpapar teori konspirasi tentang vaksinasi Covid-19,” ujarnya.
Dalam riset ini, CfDS UGM melakukan survei terhadap 601 warganet pada Februari 2021. Tim CfDS menanyakan ke mereka enam teori konspirasi soal vaksin dan dua teori di antaranya paling dipercaya responden.
“Hampir sepertiga percaya teori bahwa vaksin Covid-19 adalah skema besar perusahaan farmasi untuk mencari keuntungan,” katanya.
Menurut Amelinda, teori itu dipercaya 30,4 persen responden, sedangkan 38 persen warganet ragu-ragu dan sisanya, 31 persen, tak percaya.
“Teori kedua yang banyak dipercaya adalah tentang Covid-19 penyakit buatan manusia yang digunakan untuk kelompok tertentu,” kata dia. Ada 15 persen responden percaya teori konpirasi ini, 33 persen ragu, dan sisanya percaya.
Adapun empat teori lain, termasuk teori konspirasi bahwa vaksin untuk memasukkan microchip ke tubuh manusia, dipercaya sekitar 2-4 persen responden.
“Informasi media sosial sangat berpengaruh terhadap pembentukan pendapat masyarakat Indonesia. Terlepas dari latar belakangnya, masih terdapat masyarakat yang terpapar pusaran berita palsu ataupun teori konspirasi yang beredar di sosial media,” katanya.
Menurutya, mayoritas warganet responden yang berpendidikan tinggi, dari diploma hingga S3, menganggap bahwa vaksinasi Covid-19 itu penting, baik bagi diri sendiri maupun keluarga.
Selain itu, merek vaksin Covid-19 yang paling banyak dirujuk adalah Sinovac (41,8%), Pzifer, dan Biofarma. Masyarakat tersebut menilai bahwa vaksin harus bersifat wajib, terlepas gratis atau tidak.
“Akan tetapi, masih terdapat hampir 40% masyarakat tidak setuju dengan kebijakan wajib vaksin Covid-19 yang mayoritas merupakan masyarakat berpendidikan tinggi,” paparnya.
Hal itu berdampak pada persepsi negatif masyarakat yang menyurutkan kesediaan untuk menerima vaksin. Menurut CfDS, sebagian besar masyarakat Indonesia pengguna layanan digital mengakses informasi Covid-19 melalui media sosial.
CfDS juga melakukan analisis dari cuitan dan postingan netizen di berbagai platform media sosial. Dari pengambilan data sejak Maret 2020-Februari 2021 terdapat lebih dari 18.400 cuitan di Twitter yang memuat “Tolak Vaksin” atau “Anti Vaksin”. Bersamaan unggahan tersebut, lebih dari 1.000 cuitan merujuk pada bantahan terhadap penolakan vaksin Covid-19 Sinovac.
Sementara lebih dari 4.000 cuitan mengandung kata ‘PDIP’, ‘rakyat’, ‘PKI’ dan ‘Pemerintah’ atas bentuk penolakan balik postingan anggota DPR Ribka Tjiptaning yang tidak mendukung vaksin Covid-19.
Di platform Youtube, terdapat 11 video teratas yang membahas mengenai penolakan Ribka Tjiptaning, dengan penonton lebih dari 13 juta pengguna dan 62.000 komentar.
Namun, berbeda dengan Twitter, pada kolom komentar Youtube di video tersebut lebih banyak memuat dukungan terhadap anggota DPR Ribka Tjiptaning untuk menolak vaksin Covid-19.
Peneliti CfDS Iradat Wirid menjelaskan temuan di Instagram menunjukkan akun yang menampilkan video atau foto dengan teori konspirasi.
Antara lain narasi ‘Injeksi MRNA Moderna adalah sistem operasi yang dirancang untuk memprogram manusia dan meretas fungsi biologisnya’, hingga ‘apa yang perlu kita lakukan setelah menolak vaksin?’.
“Platform dengan basis audio dan visual, seperti Instagram dan Youtube, lebih banyak digunakan untuk membangun wacana penolakan atas vaksin Covid-19, dan netizen akan ikut berkomentar sejalan dengan isi konten tersebut,” tuturnya.
Untuk itu, CfDS melihat bahwa informasi media sosial di berbagai platform berpengaruh terhadap pandangan masyarakat atau warganet dan persepsi mereka dalam keikutsertaan program vaksinasi Covid-19 pemerintah.