Jakarta, Gatra.com - Pembentukan polisi virtual atau virtual police melalui Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif dianggap menjadi masalah baru. Hal itu disampaikan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Bukan tanpa alasan Kontras menyatakan bahwa polisi virtual bermasalah. Sebab, dalam Surat Edaran tersebut dinyatakan bahwa polisi virtual bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber. Polisi virtual juga sebenarnya dibuat dalam rangka merespon maraknya penggunaan delik-delik dalam UU ITE. Namun, keberadaannya justru dianggap berseberangan.
"Akan tetapi, pembentukan ini berseberangan dengan ucapan Presiden Joko Widodo yang membuka peluang UU ITE untuk direvisi karena tidak dapat memberikan keadilan bagi masyarakat," kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti melalui keterangan tertulisnya, Senin,(22/3).
Pasalnya, lanjut dia, sejak pertama beroperasi pada 24 Februari 2021, divisi yang di bawah tanggung jawab Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri itu telah mengirimkan peringatan kepada beberapa akun pribadi lewat Direct Message pada platform Twitter, Facebook, Instagram, Youtube, dan WhatsApp.
Berdasarkan data yang dibeberkan oleh Kepala Bagian Penerangan Umum Humas Polri, Kombes Pol Ahmad Ramadhan pada Selasa (23/3) menunjukkan, selama periode 23 Februari 2021 sampai 19 Maret 2021 ada 189 konten yang diajukan untuk diberikan peringatan virtual police. Dari angka tersebut, 105 konten dinyatakan lolos verifikasi atau memenuhi unsur ujaran kebencian, sedangkan 52 tidak lolos verifikasi, dan 32 konten dalam proses verifikasi.
Angka itu kerap menunjukkan kenaikan tiap harinya. Sebelum data yang disampaikan Ahmad, KontraS menyebut per tanggal 18 Maret 2021 hanya ada 148 akun media sosial yang berhasil terjaring operasi pemantauan.
Atas tindakan polisi itu, Fatia menyebut aktivitas pemantauan melalui polisi virtual di dunia digital tersebut berimplikasi pada menyusutnya kebebasan di ruang-ruang sipil. Penindakan yang dilakukan oleh polisi dalam beberapa waktu ini tidak mempunyai parameter yang terukur.
"Hal problematis lain dalam aktivitas Virtual Police juga muncul dari segi regulasi. Surat Edaran SE/2/11/2021 hanya meregulasi pembentukannya saja, namun dalam kaitannya dengan prosedural penindakan oleh virtual police dari mulai pemantauan hingga peringatan tidak berdasar alas hukum yang jelas," jelas dia.
Fatia melanjutkan, muatan peringatan yang disampaikan virtual police juga seperti layaknya putusan pengadilan. Individu yang ditegur, dianggap telah memenuhi unsur-unsur pasal dan berpotensi melanggar UU ITE. Padahal upaya verifikasinya pun hanya dilakukan dengan ahli yang ditunjuk oleh pihak Kepolisian.
Sementara itu, alat uji terpenuhinya suatu unsur delik tidak dapat hanya didasarkan pada proses demikian yang sifatnya sangat subjektif dan tanpa adanya pembuktian. "Kekosongan pengaturan ini berimplikasi pada tindakan subjektif, sewenang-wenang, hingga abuse of power dalam penindakannya," tukas dia.
Di sisi lain, kondisi kebebasan sipil semakin menyusut. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3 yang merupakan angka terendah diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.
Fatia menilai keberadaan virtual police menjadi kontradiktif ketika publik memiliki kekhawatiran dalam berekspresi, baik melalui aksi massa maupun di internet. Ruang berekspresi warga semakin menyusut dengan adanya pemantauan oleh polisi siber itu.