Home Gaya Hidup Guru Besar IPB: Ada Tuna Logika Tentang Kawasan Hutan

Guru Besar IPB: Ada Tuna Logika Tentang Kawasan Hutan

Pekanbaru, Gatra.com - Lebih dari satu jam lelaki 56 tahun itu mengurai panjang lebar soal apa saja yang bakal dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap Kawasan Hutan Indonesia pasca hadirnya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dan sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) terkait kehutanan yang menjadi turunan dari UUCK itu.

Kebetulan Sekretaris Jenderal (Sekjen) KLHK ini didapuk berbicara lebih dulu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR yang disiarkan langsung melalui Kanal Youtube Komisi IV itu.

Bambang Hendroyono tak sendirian diundang ke sana, tapi bersama Sekjen Kementan dan Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Jadilah RDP itu menghabiskan waktu hampir 4 jam.

Dalam penjelasan panjang lebar itu, Bambang menyebut bahwa tekad KLHK untuk mempertahankan 30% --- bahkan lebih --- ketercukupan kawasan hutan di masing-masing provinsi, adalah keharusan.

Baca juga: Cerita Ludesnya Hutan Lindung Bukit Betabuh Riau

Oleh tekad itu, pun terkait orang-orang yang sudah 'terlanjur' berada dalam KH, prioritas KLHK bukan mengeluarkan lahan yang sudah dikuasai itu dari KH, tapi memberikan kesempatan kepada orang untuk memakai KH itu tanpa harus merubah status KH nya.

"Penggunaan kawasan hutan akan melegalkan dengan sanksi administrasi denda dan dengan jangka waktu tertentu kebun sawit bisa berjalan tapi tetap statusnya kawasan hutan dan bukan diturunkan. Ini prinsipnya," kata Bambang.

Hanya saja Ketua Komisi IV DPR, Sudin, justru melontarkan kritik panjang terkait kinerja KLHK. Kader PDI Perjuangan asal Lampung ini malah mempersoalkan 'diamnya' Gakkum KLHK atas alih fungsi KH oleh korporasi, termasuk korporasi asing yang luasnya mencapai 3 juta hektar.

"Di Kalteng saja sudah diakui oleh Gakkum 3 juta lebih, maupun oleh Dirjen Planologi tanpa pelepasan. Bahkan saya sama Dirjen Gakkum meninjau langsung beberapa perusahaan, termasuk perusahaan asing milik Malaysia, tidak ada izin, tidak ada pelepasan, tetapi ada pabrik. Diam saja. LHK semua diam. Jujur saya sudah malas sekali mau rapat dengan LHK kalau caranya begini. Yang dirugikan siapa, rakyat juga," tegas Sudin.

'Bobol'nya KLHK ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada lahan yang seperti dikatakan Sudin tadi.

Minimnya personil, peralatan hingga duit KLHK untuk menjaga KH yang ditunjuk, menambah daftar panjang masalah.

Baca juga: Pembalak Liar Hutan Bukit Betabuh Terkesan Dilindungi

Adalah pengakuan Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, Abriman yang menyebut bahwa KH Lindung Bukit Batabuh di Kuansing luluh lantak. Tak hanya oleh masyarakat, tapi juga pelaku ilegal loging yang sampai saat ini terlalu 'licin' untuk ditangkap.

"Kami hanya punya satu mobil patroli, satu motor tracker untuk menjaga hutan yang curam, terjal dan berbatu itu. Kadang duit beli minyak pun tak ada. Kalau ada Rp2 miliar saja setahun, sudah bisa mengatasi masalah," kata Abriman kepada Gatra.com.

Lantas apa kata Prof Sudarsono Soedomo terkait ini semua? Kemarin, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini meluangkan waktu bincang-bincang dengan Gatra.com, berikut hasil perbincangan itu:

Apa tanggapan Anda dengan Kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh itu?

Saya melihat bahwa dari dulu, sejak KLHK bernama Kementerian Kehutanan, paradigmanya enggak berubah. Tunjuk sana tunjuk sini kawasan hutan, tapi tidak bertanggungjawab.

Tidak hanya bertanggungjawab menjaga, tapi juga tidak bertanggungjawab melakukan tata batas hingga pengukuhan seperti yang diatur oleh Undang-Undang.

Gara-gara perlakuan semacam ini, banyak hak-hak masyarakat diklaim dalam kawasan hutan. Sebab kawasan hutan itu hanya ditunjuk dari langit, tidak ditengok dulu apakah orang ada di sana atau enggak.

Kalau dari dulu proses penunjukan hingga pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan benar, enggak akan semrawut seperti sekarang.

Celakanya kebanyakan pakar, petinggi dan penyelenggara Negara tidak ambil pusing dengan kesalahan fatal ini.

Lantas soal ketercukupan kawasan hutan yang menjadi tekad KLHK seperti apa?

Pernyataan Sekjen KLLHK tentang kebutuhan luas kawasan hutan paling sedikit 30% untuk setiap provinsi, adalah contoh nyata hoax kehutanan yang disebarkan oleh orang yang ke-GR-an dan tuna logika.

Lantaran tidak ada dasar ilmiah tentang luas kawasan minimal 30%, di sinilah letak hoax-nya itu.

Dalam dunia orang normal dengan logika paling sederhana, kebutuhan itu datang dari konsumen.

Nah, konsumen kehutanan mana yang mengatakan bahwa kebutuhan kawasan hutan itu lebih dari 30%?

Baca juga: Pemprov Riau Kurang Peduli Terhadap Hutan Bukit Betabuh

Sekjen KLHK itu mewakili sisi produsen barang dan jasa kehutanan. Kalau produsen mengatakan bahwa kebutuhan barang dan jasa produk saya adalah pailng sedikit sekian, maka itu jelas produsennya sedang GR dan pasti tuna logika.

Apalagi angka 30% itu dari luas provinsi, maka jelas lebih konyol lagi. Kalau dasarnya Daerah Aliran Sungai (DAS) dan bukan provinsi, masihlah ada alasannya.

Kalau dasarnya adalah provinsi, itu jelas menunjukkan pendekatan yang lebih bernuansa kekuasaan ketimbang manfaat.

Lalu soal reaksi Komisi IV, apa tanggapan Anda?

Pernyataan Pak Sudin tentang tidak adanya pelepasan kawasan, kita perlu melihat fakta lebih detail. Apakah benar kawasan itu sudah memenuhi kriteria sebagai kawasan hutan sebagaimana dinyatakan pada Pasal 15 UU 41 tahun 1999 atau tidak.

Kalau kriteria itu belum terpenuhi, maka pelepasan memang tidak diperlukan karena itu bukan kawasan hutan.

Untuk di Kalteng ada kemungkinan lain, yakni kebun dan pabrik dibangun berdasarkan tata ruang yang berlaku saat itu.

Lantaran itu, kita perlu memeriksa kapan kebun dan pabrik itu dibangun dan lihat tata ruang yang berlaku saat itu.

Kalau ternyata wilayah itu telah memenuhi semua syarat sebagai kawasan hutan, maka harus ditindak. Luasan 3 juta hektar itu enggak sedikit lho!

Maka hukum harus ditegakkan kepada siapapun, termasuk kepada KLHK sendiri. Jangan ngaku-ngaku kawasan hutan kalau belum memenuhi Pasal 15 UU 41 tahun 1999.

DPR sebagai pengawas perlu dikritik juga. Mengapa dana jaminan kinerja sebagaimana diamanatkan pada Pasal 35 UU 41 tahun 1999 tidak pernah diterapkan pada pemegang IUPHHK Hutan Alam?

Apakah hal itu menunjukkan bahwa di mata pemerintah hutan alam itu kurang ada harganya sehingga para pemegang IUPHHK HA tidak perlu menyerahkan dana jaminan kinerja?

Kesan yang ada, hutan rusak tidak masalah. Tapi mengapa kerugian akibat kebakaran hutan nilainya sangat spektakuler?

Nah, inkonsistensi yang luar biasa ini tidak menjadi beban pikiran dan perasaan bagi orang-orang yang memang tuna logika.


Abdul Aziz

448