Jakarta, Gatra.com – Indonesia Water Institute (IWI) menyebut saat ini kondisi Indonesia dan juga seluruh dunia, tengah menghadapi krisis air. Kondisi itu tercermin tatkala banyak daerah yang kelebihan menerima air saat musim hujan, akan tetapi kekurangan saat musim tidak hujan.
"Malah ketika musim hujan, kemampuan kita mengelola titipan Tuhan ini akhirnya jadi bencana," kata Pendiri IWI, Firdaus Ali, dalam sambutan virtualnya di webinar "World Water Day 2021", Senin (22/3).
Firdaus membeberkan, dua pertiga dari permukaan planet ini memang ditutup oleh air. Akan terapi, hanya 0,001% air tawar yang bisa diakses untuk dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keadaan itu memprihatinkan jika mengingat jumlah populasi dunia mendekati 7,7 miliar dan kebutuhan terus meningjat.
Di Indonesia, ada 270,2 juta penduduk yang harus diberi akses air bersih. Sejauh ini, kata Firdaus, baru 21,8% air pipa yang telah dilayani. Dengan perolehan sebesar itu, pengadaan air bersih Indonesia masih kalah dibandingkan negara lain.
"Masih kalah dengan Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand. Indonesia cakupan masih paling rendah, apalagi dibanding Vietnam," ujar dia.
Lebih lanjut, Firdaus memaparkan sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pengadaan air bersih. Ada perbedaan yang cukup mencolok, yakni sebelum dan selama masa pandemi Covid-19.
Sebelum Covid-19, Firdaus menyebut pemerintah fokus menurunkan angka stunting, sehingga pengadaan air sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan masyarakat yang sehat dan produktif. Akan tetapi, pengadaan itu belum sepenuhnya tercapai.
Sampai akhirnya datang pandemi, Firdaus mengatakan, tantangan pemerintah adalah kebutuhan air yang disyaratkan untuk memutus mata rantai Covid-19 dengan mencuci tangan atau benda di sekitar tiap orang. Keadaan itu jelas membutuhkan air yang lebih banyak.
Firdaus pun memaparkan hasil penelitian pihaknya pada Oktober-November 2020 lalu dan telah dipublikasikan pada 11 Februari 2021. Disebutkan bahwa kebutuhan air meningkat signifikan 2-3 kali dari sebelum pandemi. Kebutuhan air yang meningkat itu justru terjafdi ketika masyarakat kehilangan pendapatan dan pekerjaan mereka. Padahal, peningkatan kebutuhan air menambah pengeluaran mereka sampai 9%.
"Ini ironi sekali, metika butuh air banyak, spending meningkat, tapi realitanya mereka kehilangan pekerjaan," ungkap dia.
Firdaus melanjutkan, hal lain yang harus diperhatikan dalam pengadaan air bersih adalah dampak perubahan iklim serta anomali cuaca. Ia menilai keduanya bisa mengubah tatanan ketersediaan air karena perubahan siklus hidrologi. Selain kondisi krisis itu, Indonesia juga makin 'akrab' dengan bencana hidrologi.