Jakarta, Gatra.com - Menyambut hari Air Sedunia ke-28 yang jatuh pada hari ini (22/03), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menggelar webinar publik, mengangkat judul ‘Jakarta tolak privatisasi air, kembalikan pengelolaan kepada publik’.
Hadir sebagai narasumber Arif Maulana (Direktur LBH Jakarta), Tubagus (Direktur Eksekutif Walhi Jakarta) dan Lantur (Komunitas Ciliwung Hulu), acara ini menguak persoalan akses air bersih yang menjerat warga Jakarta yang bersumber pada privatisasi.
Menurut LBH Jakarta setidaknya terdapat 5 masalah besar yang ditimbulkan dari privatisasi air, yakni mahalnya tarif air bersih di Jakarta yang telah mencapai harga air termahal di Asia Tenggara, minimnya ketersediaan air bersih, beban berlapis bagi perempuan yang harus memastikan ketersediaan air bersih untuk kebutuhan domestik, minim transparansi kerjasama antara negara dengan swasta bahkan kerugian negara karena harus membayar biaya defisit kepada swasta senilai 18.2 triliyun.
Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana menjelaskan “Regulasi pengelolaan air yang harus dikelola oleh negara, tertuang di pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 85/PUU-XI/2013 tertanggal 18 Februari 2015, serta Undang-undang Sumber Daya Air.
"Tapi di Jakarta air dikelola oleh swasta." tambahnya.
Sejak tahun 1997, secara resmi pemerintah memberikan konsesi kepada dua perusahaan swasta dalam pengelolaan air di Jakarta, yakni PT. PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) untuk wilayah barat dan PT. Aetra Air Jakarta (Aetra) untuk wilayah timur. Dengan masa kontrak 25 tahun sejak saat itu. Kini kedua perusahaan itu menjadi pemain utama dalam tata kelola air di DKI Jakarta.
Tepat di Hari Air Sedunia ini, LBH Jakarta tak hanya menggelar seminar publik, namun juga secara resmi membuka layanan pengaduan terkait air di DKI melalui Pos Korban Buruknya Pengelolaan Air Bersih DKI Jakarta. LBH Jakarta siap memberi bantuan advokasi kepada warga DKI untuk akses air bersih yang lebih baik.
Sejarah Privatisasi Air Jakarta
Jakarta memiliki sejarah panjang terkait privatisasi air. Mulai dari masa Hindia Belanda, pasca-kemerdekaan di Era orde lama dan orde Baru, hingga kini pasca-reformasi yang masih menyisakan permasalahan.
Di masa Hindia Belanda tepatnya tahun 1843, pemenuhan pengadaan air bersih di kota Batavia (Jakarta) mulai dilakukan dengan pembuatan sumur bor/ sumber air artesis. Sampai pada 1920 Gementeestaatwaterleidengen van Batavia menemukan sumber air artesis di Ciomas, Ciburial, Bogor dengan kapasitas 484 liter/detik. Dari sinilah pembangunan sarana jaringan pipa air dimulai. Sepanjang 53,231 kilometer jaringan pipa berhasil di bangun dan tepat pada tanggal 23 Desember 1920 untuk pertama kalinya air yang berasal dari Ciburial Bogor dialirkan ke kota Batavia.
Selepas kemerdekaan, tata kelola air bersih diambil alih oleh pemerintah melalui Dinas Saluran Air Minum Kota Praja di bawah Kesatuan Pekerjaan Umum Kota Praja. Sepanjang dekade 50-60an instalasi air kapasitas besar di Jakarta dibangun. Pada tahap I dibangun Instalasi Air Pejompongan (1953) dengan kapasitas produksi 2000 1iter/detik dan dilanjutkan pembangunan instalasi air Pejompongan II (1964) dengan kapasitas 3000 liter/detik
Beralih ke tahun 1968, pengelolaan air di ibu kota berpindah tangan ke Pemprov DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menerbitkan Surat tentang pengambilalihan pengelolaan perusahaan daerah air minum Jakarta dari Dinas Pekerjaan Umum. Pada 30 April 1977 PAM Jaya disahkan.
Setelahnya, dalam kurun 1978 hingga 1999, Bank Dunia telah mengucurkan pinjaman baik melalui Kemen PU, Pemprov maupun PAM Jaya. Di 1992, Bank Dunia mengeluarkan kebijakan privatisasi air bersih dengan menetapkan harga sebagai mekanisme insentif untuk mendorong konsumen lebih efisien dalam penggunaan air.
Presiden Soeharto mengikuti saran Bank Dunia, pada 12 Juni 1995 swasta mulai dilibatkan dalam pengelolaan air di Jakarta. Terbit Surat Keputusan Menteri PU tertanggal 6 Juli 1995 tentang Penyiapan Proyek Penyediaan Air Bersih Kota Jakarta dan Kawasan Sekitarnya Dengan Peran Swasta.
Pada 6 Juni 1997 diadakan penandatanganan perjanjian kerjasama PAM Jaya dengan 2 Mitra Swasta selama 25 tahun yaitu PT. Garuda Dipta Semesta yang saat ini menjadi PT. PAM Lyonnaise Jaya (PT. Palyja) dan PT. Kekar Pola Airindo yang saat ini menjadi PT. Thames PAM Jaya (PT. TPJ). Sejak tanggal 1 Februari 1998, operasional pelayanan air minum pada wilayah Jakarta dilaksanakan oleh 2 Mitra Swasta.
Hari Air Sedunia
Hari Air Sedunia diperingati setiap 22 Maret setiap tahunnya sejak 1993. Berfokus akan pentingnya akses air bersih, Hari Air Sedunia hadir untuk membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa masih terdapat 2,2 milyar orang hidup tanpa memiliki akses air yang layak. Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki tugas untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan ke-6, yakni akses air bersih dan sanitasi untuk semua pada tahun 2030.