Jakarta, Gatra.com – Pandemi Covid-19 menghatam berbagai sektor, tak terkecuali industri perkebunan kelapa sawit Tanah Air dalam setahun terakhir. Kurang menggembirakannya harga crud palm oil (CPO) dunia, juga sempat menjadi tantangan yang harus dilalui.
Direktur Utama Divisi Sawit Mentari Group, Harry Poetranto, pada Senin (22/3), menyampaikan, hantaman pandemi membuat beberapa industri perkebunan kelapa sawit membatasi kegiatan bisnis dan melakukan efisiensi.
Harry menyampaikan, di saat masih pandemi, pihaknya melihat perlahan-lahan bisnis minyak kelapa sawit kembali membaik.? Ini setidkanya tercermin dari harga CPO pada awal 2021 yang lebih kondusif.
Mulai kondusifnya harga CPO dunia dipicu oleh sejumlah faktor domestik maupun dorongan harga CPO di pasar global. Di pasar domestik misalnya, pemerintah sedang intensif mendorong peningkatan konsumsi biodiesel melalui program B30.
Program tersebut diyakini akan berdampak pada membaiknya permintaan (demand) produk sawit di dalam negeri. Selain itu, demand di pasar global juga cenderung membaik, sehingga akan meningkatkan volume ekspor dan harga minyak sawit nasional.
Tren membaiknya harga CPO dunia itu sejatinya juga seiring dengan membaiknya harga minyak nabati lainnya di market global. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) melaporkan indeks harga minyak nabati di bulan Februari, misalnya, berada di rata-rata 147,4 poin. Indeks tersebut naik 8,6 poin (atau 6,2%) dari Januari dan menandai level tertinggi sejak April 2012.
Sementara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memprediksi produksi CPO di Indonesia tahun 2021 setidaknya akan naik 3,5% (yoy) menjadi 49 juta ton dari realisasi tahun lalu yang hanya sebanyak 47,4 juta ton.
"Kami di Mentari Group sangat optimistis, prospek bisnis sawit di 2021 dan 2022 akan semakin cerah. Kami akan ekspansi dengan memperluas area penanaman, membuka pabrik sawit baru, dan mengembangkan bisnis logistik sebagai sektor pendukung," katanya.
Menurut Harry, pihaknya ?melihat masih ada banyak ruang dan peluang untuk mengembangkan usaha yang bisa dilakukan tahun ini. Contohnya, ada salah satu kebun miliknya yang jarak ke pabrik pengolahan terlalu jauh.
"Kami berencana akan kami bangun pabrik baru di sana agar lebih efisien dan sekaligus untuk mencari tambahan pasokan (sourcing) buah sawit dari petani sawit sekitarnya," ujarnya.
Ia mengungkapkan, pada 2014 lalu pihaknya mendirikan pabrik pengolahan TBS pertama di Selensen, Riau. Sejak itu, grup ini terus mengakuisisi kebun-kebun dan memperbaiki produktivitasnya.
Saat ini, korporasi ini mengelola perkebunan sawit di Riau, Jambi, dan Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan luas tertanam (planted area) tak kurang dari 26,8 ribu hektare. Selain itu, mengoperasikan tiga unit pabrik kelapa sawit (PKS) menengah, masing-masing dengan kapasitas 60 ton TBS per jam. Tahun 2021ini target produksi mencapai 144 ribu ton CPO.
Selain itu, kata Harry dalam keterangan tertulis, grup yang awalnya menggeluti trading komoditi, seperti gula, molasses dan beberapa produk hasil pertanian, kemudian ekspansi ke bisnis hulu sawit serta menggarap bisnis transportasi dan logistik guna menopang bisnis perdagangan dan perkebunan sawit melalui dua anak usaha.
"Kami akan tingkatkan sinergi antarunit bisnis untuk memperkuat value chain, dan akan segera gandeng mitra investor yang punya visi sama untuk memperkuat pertumbuhan," ujarnya.