Yogyakarta, Gatra.com - Bahasa daerah semestinya dapat terus digunakan oleh generasi muda lewat keluarga, sekolah, bahkan media digital. Jika ditinggalkan penutur mudanya, bahasa daerah dapat punah setelah 75 tahun.
Hal itu disampaikan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, saat membuka Kongres Aksara Jawa I di Yogyakarta, Senin (22/3). Kongres perdana sejak digelar 99 tahun lalu di Solo ini dihelar hingga 26 Maret.
"Kita seharusnya mendorong penggunaan bahasa daerah agar tetap hidup, terutama di lingkungan keluarga. Memang peran orang tua teramat sentral sebagai penuturnya untuk diwariskan kepada anak-turunnya. Namun, tidak semua bahasa daerah memiliki potensi sama," tutur Sultan lewat siaran daring.
Ia menjelaskan digitalisasi Aksara Jawa telah dimulai di Yogyakarta tahun lalu. Sebelumnya pada 2013 dan 2014, diluncurkan Aplikasi Baca-Tulis Aksara Jawa Versi 1.0 dan Versi 2.0. "Sampai dengan akhir 2020, aplikasi tersebut telah diunduh lebih dari 10.000-an orang peminat," katanya.
Selain wajib menuliskan aksara Jawa untuk nama setiap kantor, busana dan bahasa Jawa juga wajib di kantor-kantor pemerintahan setiap Kamis Paing. Hal ini sekaligus menandai peringatan haul pahlawan nasional Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Mengutip penelitian Barbara Grimes, Sultan menyebut fenomena kepunahan bahasa daerah terjadi antara lain karena penurunan drastis jumlah penutur aktif, ranah penggunaan semakin berkurang, dan pengabaian bahasa ibu oleh penutur usia muda.
Selain itu, kurangnya usaha memelihara identitas etnik tanpa bahasa ibu, generasi terakhir tidak mahir berbahasa ibu, dan semakin punahnya dialek-dialek satu bahasa oleh keterancaman bahasa indo dan bahasa gaul.
"Kalau pun tidak punah sepenuhnya, karena masih adanya pemertahanan bahasa, atau terjadi pergeseran bahasa dan perubahan bahasa ke bahasa nasional," katanya. Penelitian lain menemukan, semakin muda usia penutur yang tidak lagi mahir menggunakan bahasa ibu, semakin cepat bahasa itu punah.
"Jika bahasa daerah hanya digunakan oleh penutur berusia 25 tahun ke atas dan usia yang lebih muda tidak menggunakannya, jangan disesali jika 75 tahun ke depan atau tiga generasi, bahasa itu akan terancam punah," katanya. .
Menurutnya, data UNESCO Atlas of Worlds Languages menyebut ada 2.500 bahasa di dunia, termasuk bahasa-bahasa daerah di Indonesia, terancam punah. Dari jumlah itu, lebih 570 bahasa berstatus sangat terancam punah dan lebih dari 230 bahasa telah punah sejak 1950.
Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) menyebutkan, dari 718 bahasa daerah di Indonesia, 169 terancam punah karena jumlah penuturnya kurang dari 500 orang. "Agar bisa bertahan, bahasa harus digunakan oleh minimal 10 ribu orang untuk memastikan transmisi antar-generasi," ujarnya.
Hingga saat ini, baru tujuh bahasa daerah di Indonesia yang terdaftar di Unicode, antara lain aksara Jawa (Hânâcârâkâ) dan aksara Arab Pegon yang banyak terdapat dalam manuskrip di Museum Widyâ Budâyâ, Keraton Yogyakarta. PANDI telah bekerjasama dengan Keraton Yogyakarta dan PBNU.
Tak kalah penting, di era digital ini, aksara daerah harus menggunakan media digital agar eksis. "Seperti halnya aksara Mesir kuno, hierogliph, sebenarnya aksara Jawa tidak tertinggal jauh dalam memasuki era digital, karena 26 tahun yang lalu telah terdaftar di Unicode," kata dia.
Selain Sultan, acara juga dibuka oleh sambutan daring Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.