Home Hukum Guru Besar Unud: Hakim Harus Paham Kapurusa dan Predana

Guru Besar Unud: Hakim Harus Paham Kapurusa dan Predana

Jakarta, Gatra.com – Guru Besar Universitas Udayana (Unud) Bali, Prof. I Wayan P. Windia, mengatakan, hakim yang bertugas di wilayah Bali harus memahami hukum masyarakat adat Bali, sehingga mampu mememeriksa dan mengadili sengketa atau perkara warisan secara baik.

Wayan Windia dalam webinar bertajuk "Hukum Waris Adat dalam Praktik Peradilan" gelaran Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia akhir pekan ini, menyampaikan, terkait hal itu, hakim harus bisa memahami perbedaan status kapurusa dan predana.

Menurutnya, status itu harus dipahami karena terkait dengan perbedaan tanggung jawab (swadharma) terhadap keluarga dan masyarakat yang terdiri pacek, panua, dan panglingsir. Hakim juga harus memahami perbedaan keterikaitan pacek, pamucu, panua, dan panglingsir terhadap sanggah, natah, dan tanah.

"Inti masalahnya ada di sini dan bukan karena perbedaan jenis kelamin laki-laki atau perempuan," ujarnya.

Menurut Wayan Windia, hanya dengan memahami dan mengimplementasikan perbedaan status kapurusa dan predana secara baik, barulah hakim mungkin bisa menyelesaikan pembagian warisan bagi umat Hindu di Bali secara baik.

"Ini sejalan dengan hukum adat Bali dan relatif mencerminkan rasa keadilan masyarakat hukum adat setempat," ujarnya.

Wayan Windia menjelaskan, dalam hukum masyarakat adat Bali, ada 4 unsur pewarisan, yakni pewaris, waris, ahli waris, dan warisan. Sedangkan dalam KUH Perdata hanya 3 unsur, yaitu pewaris, ahli waris, dan warisan.

"Selain itu, ada satu hal lagi yang perlu diketahui dalam hubungan dengan ketidaksamaan pembagian warisan di antara para waris atau keturunan menurut hukum adat Bali," katanya.

Wayan Windia menegaskan, ketidaksamaan yang muncul bukan karena perbedaan laki-laki dan perempuan atau gender, melainkan karena perbedaan status kapurusa dan predana.

"Ada waris atau keturunan yang berstatus kapurusa dan ada waris atau keturunan yang berstatus predana," ujarnya.

Seorang waris atau keturunan, baik itu laki-laki maupun perempuan yang berstatus kapurusa dikenal pula dengan sebutan pacek, atau melangsungkan perkawinan (makerab kambe) akan disebut panua atau panglingsir kulawarga, yakni orang yang dituakan dalam keluarga.

"Seorang pacek, pamucu, panua, panglingsir benar-benar 'terikat' oleh tanggung jawab (swadharma) terhadap keluarga dan masyarakat," katanya.

Oleh karena itu, tidak mungkin baginya untuk meninggalkan rumah dan atau bekerja di luar daerah untuk jangka waktu tertentu atau selamanya.

Wayan Windia menyampaikan, karena itu, hakim yang bertugas khususnya di wilayah Bali, atau wilayah lainnya, tidak cukup hanya memahami hukum positif, melainkan juga harus memahami hukum adat Bali atau hukum masyarakat adat setempat.

"Mengenai masalah pembagian warisan untuk masyarakat adat, seorang hakim tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang pewarisan menurut KUH Perdata dan hukum positif lainnya," kata dia.

Hukum positif tersebut, lanjut Wayan Windia, di antarannya Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM), kemudian pengetahuan soal kesetaraan dan keadilan gender, serta rasa prikemanusiaan.

"Perlu dukungan pengetahuan pewarisan menurut hukum adat di wilayah atau daerah tempatnya bertugas," ujar Wayan Windia.

1465