Home Hukum Hakim: Yurisprudensi Waris untuk Pembangunan Hukum Nasional

Hakim: Yurisprudensi Waris untuk Pembangunan Hukum Nasional

Jakarta, Gatra.com – Hakim Agung Edi Riadi mengatakan, pembentukan hukum waris melalui yusirsprudensi sangat baik untuk pembangunan hukum nasional di masa mendatang.

"Sangat baik bagi pembangunan hukum nasional karena tidak menimbulkan gejolak. Berbeda dengan lewat badan legislatif [DPR] yang rawan ada gejolak dari masyarakat," kata Edi dalam webinar bertajuk "Hukum Waris Adat dalam Praktik Peradilan" yang digelar Asosiasi Pengajar Hukum. Adat (APHA) Indonesia pada akhir pekan ini.

Terkait perkara hukum waris yang masuk ke peradilan, lanjut Edi, pengadilan hingga tingkat Mahkamah Agung (MA) di bidang hukum perdata Islam telah melakukan sejumlah terobosan untuk menemukan hukum baru tentang waris guna memberikan keadilan kepada masyarakat.

"Putusan-putusan Mahkamah Agung di bidang hukum waris Islam yang semakin terus berkembang mengikuti perkembangan zaman," ujarnya.

Menurut Edi, ini sangat penting, dalam rangka pembinaan hukum ke arah hukum nasional yang satu. Sangat baik dalam pembangunan hukum nasional karena pembangunan hukum nasional di tengah masyarakat menimbulkan gejolak kalau melalui DPR.

"Itu banyak mengundang kontroversi dari masyarakat. Tapi kalau lewat yurisprudensi, masalah dengan pihak tertentu yang berpegang teguh pada hukum Fikih, saya katakan bukan hukum Islam, tapi Fikih karena mereka itu berpegang kepada aturan yang dibangun pada abad ketiga Hijriah, atau sekitar abad ke-8," katanya.

Kitab-kitab Fikih itu dibukukan atau dibangun oleh mujtahid-mujtahid atau pakar-pakar hukum saat itu yang notabenenya adalah masyarakat Arab. Pastinya, pikiran-pikiran mereka itu akan dipengaruhi oleh hukum adat seputar masyarakat Arab.

Artinya, lanjut Edi, bahwa hukum Fikih waris di dalam buku-buku Fiqih Waris tersebut adalah merupakan tafsiran dari Alquran. Tentunya, Fikih pada masa ini dan di daerah yang lain tidak ideal untuk diterapkan atau diberlakukan.

"Kita lihat bahwa sumber hukum waris Islam itu pada dasarnya Alquran. Ada beberapa surat disebutkan 7, 11, 12, 76. Sebelumnya ada 33 ya, ada 180 Al-Baqarah. Alquran menganut bilateral, dulu juga sudah disampaikan oleh Pak Prof. Hazairin bahwa Alquran itu mengandung hukum Islam yang bilateral," katanya.

Sumber hukum waris yang kedua, adalah hadis Nabi. Ini merupakan keputusan-keputusan di bidang waris, bentuknya tidak murni bilateral, hampir mengarah pada patrilineal walaupun tidak murni patrilineal.

"Saya berpendapat, itu kemungkinan dipengaruhi oleh hukum adat setempat, sebagaimana dikatakan Prof. Ade Saptomo, bawa sistem perkawinan itu sangat memengaruhi terhadap hukum waris," katanya.

Hakim Agung Edi Riadi. (Ist)

Pertanggungjawaban terhadap keluarga berpengaruh terhadap hukum waris. Misalnya di masyarakat adat Minang, umumnya harta waris turun temurun itu dikelola oleh pihak dari ibu karena mengandung sistem kekerabatan matrilineal. Beda halnya di Lampung, dikelola oleh pihak dari bapak atau ayah (patrilineal) karena tanggung jawab terhadap keluarganya sangat besar. Demikian juga di suku Jawa.

"Makanya menjadi sangat aneh misalkan kalau anak wanita mendapat warisan karena dia tidak punya tanggung jawab keluarga, tapi pihak laki-laki yang punya tanggung jawab keluarga. Itulah sehingga hadis ini, keputusan-keputusan rasul ini tidak murni bersifat bilateral," katanya.

Ketika ada peristiwa kewarisan yang bersifat adat, misalnya seseorang meninggal dunia meninggalkan anak dan istri, harta kekayaan diambil oleh pamannya. Nabi kala itu juga kebingungan. Dari sisi rasa keadilan, itu tidak adil paman mengambil harta, sementara anak mendiang tidak dapat.

"Akhirnya nabi mendapat wahyu yaitu Alquran surat Annisa Ayat 7, sehingga dengan demikian, maka pamannya disuruh membagi waris dengan keponakan dan istri dari suami yang meninggal itu," ungkapnya.

Adapun sumber ketiga, yakni ijtihad para ulama. Ijtihad ini memunculkan ada dawil arham di dalam keluarga. "Dia ada ikatan keluarga tapi tidak berhak untuk mewaris. Contohnya bibi atau cucu dari anak perempuan, anak dari perempuan itu tidak dapat," katanya.

Kembali ke soal putusan MA, lanjut Edi, MA dalam putusannya mengandung dispensasi dari aturan Fikih yang dianut saat ini, yakni bahwa perempuan menutup hak waris saudara. Sementara dalama Fiqih, saudara bisa mewaris jika ahli waris yang ditinggal pewaris itu hanya anak permpuan.

"Jadi kalau anak perempuan, mau satu atau berapa, makan saudara itu masih bisa mewaris. Itu karena anak perempuan hanya dibatasi setengah kalau 1 orang, 2/3 kalau 2 orang atau banyak. Sehingga saudara itu tidak terhalang oleh anak perempuan," katanya.

Dalam putusan MA sejak tahun 1994, sudah melakukan perubahan bahwa anak perempuan walaupun dia tunggal, maka dia sebagai ahli waris satu-satunya sehingga saudara sudah tidak mewaris lagi.

"Tapi dalam HKI, walaupun demikian masih berbau Fikih. Hukum Kompilasi Islam itu walaupun dirumuskan pada 1991 tapi masih berbau Fiqih. Jadi kalah dengan putusan MA pola berpikirnya," kata dia.

Mahkamah Agung (MA). (Ist)

Beda Agama

Berbeda keyakinan atau agama yang dianut dalam suatu keluarga merupakan hal yang menarik di dalam masyarakat yang multi etnik dan agama, karena akan terkait pada hukum waris.

"Di dalam Fikih memang kalau beda agama itu tidak mewaris, baik misalkan anak-anak dan ibunya Islam sedangkan pewarisnya itu tidak beragama Islam. Maka anak-anak yang Islam ini tidak berhak mewaris. Begitupun sebaliknya, jika pewaris muslim, ahli warisnya non muslim itu tidak mendapat warisan," katanya.

Terkait persoalan ini, MA membuat terobosan pada tahun 2001 bahwa walaupun beda agama itu harus diberikan sebagian. Tapi terobosan ini lagi-lagi tidak disebutkan sebagai ahli waris, tetapi mendapat warisan karena wasiat wajibah berdasarkan surat Al-Baqarah 180. Dalam ayat ini mengatur bahwa keluarga-keluarga yang ada ikatan darah kalau dia tidak mendapat warisan, maka wajib diberikan wasiat wajibah.

"Dari ayat itulah Mahkamah Agung membuat keputusan bahwa beda agama diberikan harta waris itu. Sebetulnya jauh dari 2004 itu sudah membuat putusan seperti itu. Jadi 10 tahun sebelum itu, PA Tahuna sudah melakukan seperti itu," ungkapnya.

Edi mengungkapkan, Pengadilan Agama Tahuna membuat terobosan putusan tersebut karena hakim-hakim di sana menyadari perlunya peruban-perubahan hukum. Pasalnya, masyarakat Tahuna terdiri dari berbagai etnik dan multi kepercayaan.

"Di Tahuna itu sangat-sangat banyak ya, sehingga rasa keadilan hakim di sana tumbuh terasa dengan pengalaman-pengalamannya," kata dia.

Anak di Luar Nikah

Anak di luar nikah atau pernikahan yang sah, awalnya posisinya sangat tidak menguntungkan. Bahkan mereka ini mendapat stigma buruk yang tidak baik untuk tumbuh kembangnya. Padahal mereka tidak bersalah. "Yang berdosa orang tuanya," kata Edi.

Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan tahun 2010, anak di luar nikah itu mempunyai hak keperdataan, termasuk waris. Sebetulnya, Fikih klasik sudah berpendapat yakni dari mazhab Hanafi. Di dalam referensi kitab "Durul Muhtar" itu dikatakan anak di luar nikah atau di luar perkawinan yang sah, berhak mewaris.

"Cuman pada putusan MK muncul, wah masyarakat Mulsim agak kaget, termasuk MUI. Padahal dalam literatur Islam dulu, ada litratur-literatur seperti itu. Ini lompatan-lompatan yang dibuat MA," katanya.

Ahli Waris Pengganti

Pemikiran mengenai ahli waris pengganti sudah diutarakan oleh Prof. Hazairin di dalam buku "Islam Bilateral". Lalu diadopsi oleh KHI, yakni Pasal 185. Prof. Hazairin mengambilnya dari Alquran Surat Annisa ayat 33.

"Ayat 33 itu bisa ditafsirkan seperti itu, walaupun ulama-ulama dulu karena dia dipengaruhi oleh hukum adat di Arabia, Semenanjung Arab, penafsiran terhadap ayat itu adalah bahwa itu adalah materilineal, bukan ahli waris pengganti," katanya.

Sebetulnya, lanjut Edi, ayat pertama di dalam surat Annisa tentang waris, yakni ayat 7 sangat parental karena isinya itu bahwa laki-laki dan perempuan bisa mewaris dari orang tuanya atau dari kerabat-kerabatnya, tanpa memisahkan anak laki-laki atau perempuan yang mana.

"Jadi anak laki-laki atau permpuan atau saudara laki-laki maupun perempuan bisa mendapat warisan dari orang tua atau kerabatnya. Ahli waris pengganti seperti itu," ucpanya.

Dalam perkembangannya di MA, ahli waris pengganti ini masih ada batasan-batasan. Sebetulnya, KHI Pasal 185 ini sangat parental sama dengan Alquran surat Annisa ayat 7. Tetapi pemahaman di lingkungan peradilan agama sangat dibatasi. Dahulu ketika ada Munas Mahkamah Agung di Banjarmasin, itu dibatasi hanya sampai cucu dari anak.

"Sekarang berkembang lagi di dalam yurisprudensi, ahli waris pengganti itu termasuk juga anak daripada saudara mendapat, dulu tidak. Kita harapkan ke depan ahli waris pengganti itu bukan sekadar itu, tapi sebagaimana yang dikehendaki oleh KHI dan juga Prof. Hazirin di dalam bukunya," kata Edi.

Warisan Anak Angkat dan Anak Tiri

Menurut Edi, MA sudah banyak memutus perkara warisan terkait anak angkat dan anak tiri. Putusan-putusan ini memberikan warisan bagi anak angkat dan anak tiri. Untuk porsi warisnya tetapi lewat wasiat wajibah. Pengadilan menentukan bawa anak angkat dan tiri mendapat warisan melalu wasiat wajibah.

Pengadilan memberikan wasiat wajibah ini kalau orang tua angkatnya tidak memberikan warisan. Ini berdasarkan KHI. Sebetulnya, di dalam Alquran itu sudah eksplisit di dalam surat Al-Baqarah ayat 180.

1147