Jakarta, Gatra.com – Dewan Pembina Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Prof. Ade Saptomo, mengatakan, perkawinan antarsuku bebeda sistem kekerabatan melahirkan implikasi pada hukum waris adat yang akan dipakai.
Ade dalam webbinar bertajuk "Hukum Waris Adat dalam Praktik Peradilan" pada akhir pekan ini, menyampaikan, pekawinan antarsuku di dunia semakin masif seiring intensnya hubungan sosial dan canggihnya teknologi komunikasi.
"Kemajuan teknologi informasi yang menengglamkan batas-batas etnik, batas-batas geografis, dan batas-batas administrasi," ungkapnya.
Salah satu contohnya, lanjut Ade, dalam acara digelaran APHA Indonesia ini, yakni perkawinan antara orang yang berbeda sistem kekerabatannya. Terkait ini, Guru Besar Universitas Pancasila (UP) Jakarta yang tinggal di Sumatera Barat (Sumbar) selama 25 tahun tersebut, melakukan kajian atas 3 hal di sana.
"Saya mengamati tiga hal, yaitu pola-pola penyelesaian sengketa tanah adat, yang kedua, adalah pola-pola penguasaan tanah adat, dan ketiga perkawinan antara orang yang berbeda sistem kekerabatannya," ungkap Ade.
Menurutnya, banyak pernikahan suku di Indonesia dengan suku Minang yang bebeda sistem kekerabatannya. Ia mencontohkan, orang Jawa yang menganut sistem parental dengan orang Minang yang menganut materilinial.
"Masyarakat Minang itu terdiri dari etnis-etnis, ada Koto, Jambak, Chaniago, dan seterusnya, lebih dari lima ratusan," ungkapnya.
Adapun perkawinan yang ideal menurut hukum adat di Miangkabau, adalah perkawinan eksogami subetnik. Misalnya, idealnya suku Koto menikah dengan suku Jambak atau suku-suku lain atau subetnik yang berbeda di Minangkabau.
"Nah, kalau orang Jawa yang bersistem parental kekerabatannya, masuk ke sana, menikah dengan orang yang menganut sistem kekerabatan materilineal, apa terjadi sistem perkawinan antarakekerabatan?" ucapnya.
Menurut Ade, teryata itu bukan perkawinan antarkekerabatan. Pasalnya, perkawinan ideal yang dimaksud, adalah orang Jawa yang menikah dengan salah satu etnik suku di Minangkabau, harus menundukan diri menjadi salah satu suku yang berbeda dengan calon pasangannya.
"Nah, kalau calon istrinya itu Koto, maka orang Jawa dimaksud harus menundukan diri kepada suku lain. Ini juga terjadi di masyarakat Batak, sama saja itu ya," ungkapnya.
Dengan menundukan diri ke dalam subsuku di Sumatera Barat (Sumbar), maka terjagalah sistem struktur sosial masyarakat Minangkabau. "Jadi tidak terjadi perkawinan antara orang Jawa dan orang Minang, karena menundukkan diri," katanya.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya, lanjut Ade, apakah berimplikasi pada hukum waris adat? Hukum waris adat mana yang mau dipakai? Dengan banyaknya perkawinan lintas suku berbeda sistem kekerabatan, maka ke depan hukum waris adat ini menjadi penting.
Menurut Ade, kalaupun tidak terjadi perceraian antara pasangan berbeda suku dan sistem kekerabatan, ini akan tetap menjadi bahasan panjang, yakni soal hukum adat mana yang akan dipakai.
"Kalau konsisten mendudukkan diri maka tidak ada masalah. Tetapi dalam perkembangannya, kalau yang bersangkutan hidup di luar Minangkabau, itu suatu hal," katanya.
Menurut Ade, kalau perempuan Minang yang menikah dengan laki-laki Jawa, ini tidak begitu masalah. Tetapi kalau perempuan Jawa menikah dengan laki-laki Minang, tentu ada problem yang harus diperhitungkan.
"Nah, ini juga akan berimplikasi kepada hukum waris adat yang akan datang. Nah, banyak contoh-tontoh yang sudah saya sampaikan. Misalnya, guru besar saya yang berasal dari Yogyakarta, itu orang Jawa menikah dengan istri yang berasal dari Pariaman," katanya.
Contoh lainnya, seorang profesor dari Bukittinggi, Sumbar, menikah dengan orang Jawa, dan kemudian mereka hidup di Jawa. "Maka implikasi yuridis terhadap hukum waris adat, apa yang harus dilakukan?" ujarnya.
Ade melanjutkan, berbagai contoh varian mengenai hukum waris adat, ini masih menggantung. "Hukum waris adat yang mana yang akan dipakai kalau perkawinan melahirkan satuan rumah tangga, itu ada di masyarakat Minangkabau," ujarnya.
Contoh lainnya, kalau satu satuan sosial rumah tangga itu hidup di luar Minangkabau, ada implikasi-implikasi hukum waris adat yang harus diteliti.
Ade kembali menyampaikan tamsil lainnya bahwa di Sumbar ada masyarakat Jawa di Desa Sitiung. Mereka ada di sana karena program transmigrasi. Mereka dibuatkan lahan besar, sehingga orang Jawa membangun desa Jawa dengan segala implikasinya.
Dalam perjalanannya, masyarakat Jawa dari desa itu juga menikah dengan masyarakat sekitarnya. Sehingga membentuk rumah tangga Jamin. "Kenapa Jamin dan tidak Minja, ini juga akan berimplikasi kepada pola-pola waris, Jamin kok bukan Minja," katanya.
Sementara itu, Ketua Umum APHA Indonesia, Laksanto Utomo, menyampaikan, webinar ini merupakan rangkaian acara yang digelar APHA Indonesia.
"Ini merupakan rangkaian panjang sebulan yang lalu, waris dilihat dari akademisi. Kemudian pada akhir acara ini di hukum waris, melihat bagaimana penegakan hukum," katanya.
Melalui webinar yang diisi oleh para narasumber, baik dari kalangan akademisi, aktivis, hingga hakim ini bisa memberikan perspektif baru tentang hukum waris adat yang berlaku di Indonesia.
"Kita bisa melihat perspektifnya dari sisi teori, kemudian bagaimana waris dalam praktik peradilan. Semoga acara ini bermanfaat," katanya, kemudian membuka webinar.