Home Info Sawit Setelah SBE Jadi Non-B3, Selamat Datang Sumber Duit Bongsor

Setelah SBE Jadi Non-B3, Selamat Datang Sumber Duit Bongsor

Jakarta, Gatra.com - Tak berlebihan jika Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyebut kalau keputusan Presiden Jokowi mengeluarkan Spent Bleaching Earth (SBE) dari jenis limbah Non B3 adalah physiological statement yang brilliant and it will work wonders.

Sebab pertama, gara-gara status baru itu, yang tadinya biaya produksi pengolahan Crude Palm Oil (CPO) menjadi Refined Minyak Sawit di Indonesia lebih tinggi 4%-5% ketimbang Malaysia, sekarang sudah apple to apple, bahkan Indonesia bisa lebih efisien dari Malaysia.

Dampak di dalam negeri, persaingan usaha menjadi kompetitif.

Kedua, gara-gara status baru itu pula, pengusaha sontak bersemangat berinvestasi membangun Solvent Extraction Plant (SEP), pabrik yang akan merubah SBE menjadi De-OBE (De Oiled BE) dan Recovered Palm Oil (R-Oil).

Dalam webinar #LetsTalkAboutPalmOil sesi ke-36 yang dipandu Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Togar Sitanggang itu, narasumber tunggal, Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga mengurai bahwa bakal ada 22 unit SEP yang bertebaran di 9 zona di Indonesia untuk mengolah SBE tadi.

Investasi yang bakal mengucur demi membangun SEP itu mencapai Rp1,8 triliun. Jika satu unit SEP saja mempekerjakan 50 orang, berarti, bakal ada 1.100 orang tenaga kerja langsung yang terserap.

SEP sebanyak itu dibutuhkan lantaran di Indonesia, ada sekitar 92 pabrik Refinery ragam kapasitas, mulai dari yang 600 ton per hari, hingga 3000 ton per hari.

Refinery ini mengolah sekitar 85% dari total produksi CPO dan Palm Kernel Oil (PKO) Indonesia yang saat ini berada di angka 52.9 juta ton per tahun.

Dari aktifitas pabrik Refinery inilah muncul sekitar 674,4 ribu ton SBE yang akan diolah oleh SEP itu.

"Pengusaha semangat membangun SEP, selain returnnya bagus, perusahaan juga akan selalu dapat PROPER lantaran pengolahan limbah sudah bagus. Untuk menghadirkan 22 SEP ini, kita hanya butuh waktu hingga 2023," ujar Sahat.

Meski hanya 22 unit, kalau semua SBE tadi terkelola, duit yang akan mengucur dari sini sangat jumbo. Soalnya Usaha Kecil Menengah (UKM) akan hadir di sekitar pabrik Refinery tadi. Lho?

Simak ulasan dan hitung-hitungan yang dibikin Sahat ini saat berbincang dengan Gatra.com, usai webinar bertajuk 'Sian Tano Mulak Tu Tano' (Dari Tanah Kembali ke Tanah) itu tadi malam.

Bahwa 1 ton SBE bisa menghasilkan 0,839 ton De-OBE dan 161 kilogram R-Oil.

Dari SBE sebanyak tadi, dalam setahun bisa dihasilkan 674,4 ribu ton De-OBE. Sementara satu ton De-OBE bisa menghasilkan 314 batang bata ringan (Hebel CLC) berukuran 7,5cm x 20cm x 60cm.

Untuk mengolah bata ringan inilah UKM tadi hadir.

Kalau 60% dari De-OBE itu dijadikan Hebel, maka tiap tahun industri UKM yang dikembangkan di sekitar refinery tadi akan menghasilkan 177,6 juta batang Hebel CLC.

Ini didapat dari 60%x565,8 ribu ton De-OBE x 314 batang Hebel CLC. Itupun jika 40% lainnya dipakai pula untuk bahan urugan, membikin jalan, dan lain-lain.

Di pasaran, satu kotak Hebel CLC isi 111 batang seukuran itu, dibanderol Rp580 ribu. Kalau dinominalkan, tiap tahun duit bata ringan yang berputar di UKM yang tumbuh tadi berkisar Rp928 miliar. "Itu baru hasil dari bata ringan," Sahat merinci.

R-Oil yang dihasilkan dari SBE yang diolah di SEP itu kata Sahat, kalau dijadikan Bensa-Biohidrokarbon --- bensin setara Pertamax dengan Oktan 92, bisa menghasilkan sekitar 160,6 juta liter pertahun. Kalau diduitkan, nilainya sekitar Rp144,5 miliar. Itu kalau Pertamax dibanderol Rp9 ribu perliter.

"Namun kalau dijadikan bensin super dengan oktan 110, dalam setahun menghasilkan sekitar 72,3 juta liter. Jika dikalikan Rp50 ribu saja seliter, duitnya sudah berapa?" Sahat tertawa.

Terlepas dari hitung-hitungan yang sangat gendut tadi, Sahat berharap ke depan, sebisa mungkin jangan lagi dibikin pagar tinggi-tinggi, "Sampai-sampai kita sendiri enggak bisa melompati," pintanya.

"Pola pikir juga musti kita robah, jangan suka melihat orang lain susah. Di negara manapun, tak ada yang membikin SBE ini limbah B3, yang ada paling limbah khusus. Limbah Rapeesed, jagung dan sunflower yang gampang terbakar saja hanya dibikin limbah khusus," ujarnya.

Yang paling penting sebenarnya kata Sahat, dengan dijadikannya SBE sebagai Non-B3 dengan kandungan minyak kurang dari 3%, animo investor untuk berinvestasi di SEP menjadi besar.

Dan oleh status baru SBE itu pula UKM tumbuh di sekitar Refinery untuk menghasilkan bata ringan tadi. Ini sama seperti yang diharapkan Presiden Jokowi kepada GIMNI dalam pertemuan di Istana Negara 13 Oktober 2015 silam.

"Kita musti sama-sama tahu bahwa banyak yang iri dengan Indonesia lantaran di Negeri ini sawit sangat subur. Mari kita syukuri ini dengan kebersamaan dan saling mengingatkan. Siapapun pasti butuh lingkungan yang lestari," katanya.


Abdul Aziz

 

 

 

2195