Pekanbaru, Gatra.com - Direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) daerah Riau, Riko Kurniawan, menyebut kebijakan pemerintah mengeluarkan limbah minyak sawit jenis spent bleaching earth (SBE) dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3), merupakan keputusan terburu-buru.
Menurut Riko, alih-alih membuat keputusan tersebut, pemerintah sebaiknya memastikan hal-hal substansial terpenuhi oleh pelaku usaha kelapa sawit. Terlebih, industri kelapa sawit merupakan industri multi aspek, oleh sebab itu pemerintah perlu memastikan kepatuhan pelaku usaha kelapa sawit atas regulasi bikinan pemerintah.
"Misalnya soal legalitas, apakah lahan dan pabriknya sudah legal. Dan pengelolaan limbah sudah sesuai prosedur, begitu juga soal instalasi pengolahan limbah apakah sudah sesuai dengan aturan teknis," terangnya kepada Gatra.com melalui sambungan seluler, Kamis (18/3).
Dikatakan Riko, jika hal-hal mendasar belum sanggup terpenuhi oleh pelaku usaha, maka kebijakan mengeluarkan SBE dari kategori B3 bisa beresiko. Sebab bisa saja keputusan tersebut dibuat tujuanya untuk meringankan tugas perusahaan mengelolah SBE, yang sebelumnya sangat mungkin merepotkan perusahaan.
Asal tahu saja, keputusan pemerintah mengeluarkan limbah penyulingan minyak kelapa sawit dari kategori limbah B3, tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Terkait Kemen LHK yang akan meningkatkan pengawasan sehubungan dengan regulasi baru tersebut, Riko malah pesimis. Pasalnya merujuk pada kondisi sebelum munculnya PP Nomor 22 tahun 2021, tugas pengawasan yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup tidak berjalan optimal.
"Alasannya klasik, lokasi pabrik yang jauh, atau terbatasnya sumber daya manusia. Padahal ada laporan berkala sekali tiga bulan soal pengolahan limbah ke pemerintah, seperti apa kepatuhanya juga tak terungkap ke publik," tekannya.
Pengelolaan limbah B3 termaktub dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kegiatan pengelolaan meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.
Regulasi tersebut juga mengatakan setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya dan wajib mendapat izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Di Riau sendiri cukup banyak kasus pencemaran lingkungan oleh pabrik kelapa sawit. Belum lama ini pada Agustus 2020, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pelalawan pada mengganjar PT Serikat Putra dengan denda Rp140 juta lantaran terbukti mencemari Sungai Kerumutan.
Sementara pada Februari 2021, DLH setempat tengah memproses pencemaran lingkungan yang diduga dilakukan PT Inti Indo sawit Subur (ISS). PT ISS disorot lantaran jebolnya tanggul penampung limbah perusahaan.