Semarang, Gatra.com - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) pusat mendesak dilakukan pembenahan sumber daya manusia (SDM) dan manajemen perusahaan bus pariwisata agar kejadian kecelakaan lalu lintas yang fatal tidak terulang.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat, Djoko Setijowarno menyatakan, keselamatan adalah investasi yang semestinya jadi perhatian setiap pelaku bisnis angkutan pariwisata.
“Gencarnya promosi pengembangan pariwisata di nusantara jangan sampai menjadikan angkutan pariwisata mengabaikan aspek keselamatan,” katanya, Kamis (18/3).
Pembenahan SDM dan manajemen perusahaan bus pariwisata, lanjut Djoko mendesak dilakukan, karena sudah beberapa kali terjadi kecelakaan bus pariwisata yang mengakibatkan jatuhnya puluhan korban jiwa
Kejadian terakhir, kecelakaan Bus Pariwisata PO Sri Padma Kencana di Tanjakan Cae, Kecamatan Wado, Sumedang, Jawa Barat, Rabu (10/3) malam, yang menyebabkan 29 orang meninggal dunia.
Kecelakaan serupa pernah terjadi pada 12 Desember 2019, Bus PO Sriwijaya jatuh ke jurang di Liku Lematang, Desa Prahu Dipo, Kecematan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan menyebabkan 35 orang penumpang meninggal dunia.
“Agar kejadian tidak terulang lagi perlu dilakukan pembenahan yang komprehensif SDM dan manajemen perusahaan bus pariwisata,” ujarnya.
Menurut dosen Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang ini, secara umum faktor utama terbesar penyebab kecelakaan lalu lintas adalah manusia, sarana, prasarana dan lingkungan.
Akan tetapi yang sering dibenahi bukan manusianya, tapi baru sebatas aspek sarana, prasarana, dan regulasi. Padahal Sistem Manajemen Keselamatan (SMK) adalah salah satu pembenahan yang terkait dengan faktor manusia.
Jika SMK berjalan dengan baik dan konsisten di semua perusahaan angkutan umum, sudah barang tentu akan turut mengurangi tingkat kecelakaan lalu lintas. Sekarang sudah mulai dilakukan pembenahan SMK tersebut yang targetnya selesai tahun 2025.
“Pada Tahun 2020, salah satu Balai Pengelola Transportasi Daerah (BPTD) di Sumatera bersama Polisi dan PT Jasa Raharja pernah melakukan inventarisasi keberadaan bus pariwisata. Hasilnya, mayoritas bus pariwisata tidak berijin, baik plat kuning maupun plat hitam,” ujarnya.
Pengawasan bus pariwisata di jalan dan di lokasi wisata juga dapat jadi bumerang, karena risikonya harus menyediakan bus pengganti.
Akhirnya, operasional bus pariwisata sama sekali tidak terawasi. Termasuk kemajuan atau progres untuk perolehan perijinan membuka usaha bus pariwisata resmi, karena harus penyesuaian terlebih dulu dokumen perusahaan dan kendaraan yang cukup menyita waktu dan biaya.
Dampak di lapangan, bus pariwisata beroperasi dengan kondisi seadanya. Sangat minim atau tanpa pengawasan baik dari petugas Ditjenhubdat dengan keterbatasan anggaran, maupun petugas di Dinas Perhubungan di daerah selain anggaran juga merasa bukan kewenangannya.
“Jika kondisi angkutan pariwisata seperti di atas, tinggallah berdoa jika bus wisata apakah selamat atau tidak saat beroperasi,” ujar Djoko.
Djoko menyarankan perlu ada program perbaikan sistem pengujian dan penerbitan surat izin mengemudi (SIM) bagi pengemudi angkutan umum untuk orang dan barang.
Sudah saatnya ada pembaruan sistem pengujian dan penertiban SIM tersebut. Pengemudi angkutan umum harus benar-benar memiliki kecakapan mengemudi kendaraan.
“Tidak kalah pentingnya perlu diadakan pelatihan bagi pengemudi bus pariwisata sacara rutin. Minimal setahun sekali diadakan pelatihan, penyegaran dan peningkatan kompetensi bagi pengemudi oleh Kementerian Perhubungan,” ujar Djoko.