Yogyakarta, Gatra.com – Lukisan-lukisan yang merekam riwayat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dihadirkan dalam pameran ‘Tahta untuk Rakyat’ di Jogja Gallery, Yogyakarta, 20 Maret – 25 April.
Sebanyak 37 pelukis dilibatkan, bahkan kebanyakan seniman milenial yang tak mengalami langsung kiprah HB IX. Mereka mewujudkan penggal-penggal sejarah sosok raja Keraton Yogyakarta itu ke dalam karya seni rupa. Masing-masing seniman menerima satu narasi dari tiap peristiwa penting atas Sultan HB IX.
Mulai dari kelahiran Dorodjatun—nama kecilnya—pada 12 April 1912, masa sekolah dan perantauan di Eropa, menjadi raja yang kharismatis, terlibat di revolusi kemerdekaan, berkiprah di pemerintahan Orde Baru, hingga menjadi Wakil Presiden 1973-1978. Saat mangkatnya pun pada 2 Oktober 1988 ditampilkan secara khusus lewat lukisan maestro Djoko Pekik ‘Kawulo Gonjang-ganjing di Plengkung Gading’.
Narasi-narasi sejarah itu disusun oleh sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Margana. Adapun kuraton pameran ini, Suwarno Wisetrotomo, menjelaskan setiap pelukis diberi keleluasan tafsir atas narasi historis itu dalam batas kepatutan.
“Tantangannya menghadirkan hal-hal simbolik dalam karya sekaligus dapat dipahami publik. Tegangan itu tak kunjung usai dan terus terjadi ulang alik narasi historis dan narasi visual, antara ambiguitas seni dan sejarah yang tak boleh ambigu,” tutur Suwarno saat jumpa pers di Jogja Gallery, Rabu (17/3).
Dari karya-karya tersebut, sejumlah lukisan menampilkan wajah /atau sosok HB IX dan bersetia pada sejarah. Antara lain lukisan ‘Gusti Raden Mas Dorodjatoen’ karya Sigit Raharjo, ‘’Saya Tetap Orang Jawa’ dari Setyo Priyo Nugoroho, atau ‘Berunding dengan Jepang’ karya Totok Buchori dan ‘Langit Biru di Atas Keraton’ milik Bambang Heras.
Di barisan pendekatan ini, lukisan ‘Seri IIusi: Indonesia Idea # Tata untuk Indonesia’ dari Galam Zulkifli menggunakan teknologi fluorescent untuk memunculkan wajah HB IX berselang-seling dengan dua proklamator, Sukarno–Hatta, saat lampu ruang pamer dimatikan.
Namun sejumlah seniman meninggalkan paras dan figur sang raja dan memilih mengilustrasikan berbagai simbol. Contohnya karya ‘Strategi Tahta untuk Rakyat’ dari Dadi Setiyadi yang menampilkan imej catur dan ‘Lara Blonyo Segara’ Iwan Yusuf berupa imjai sabut kelapa yang menyerupai kapallayar sekaligus keris.
Nano Warsono dalam ‘Pater Patriae’ menyuguhkan ikon-ikon dalam sejarah sang raja, seperti keris, kembang biru, dan kopiah sultan. “Emprit itu symbol rakyat yang menjadi titik sentral pemerintahannya demi kemajuan Negara,” kata dia.
Di antara dua pendekatan itu, sejumlah karya meminjam figur HB IX untuk menawarkan gagasan dan mengemukakan problem sosial kiwari. ‘Kranggan’ karya Suharmanto menjadikan HB IX muda sebagai sandaran bakul pasar atau ‘Dialog Pengentasan’ Galuh Taji Masela soal pertemuan Bung Karno – HB IX dalam sebuah wadah uang dan secangkir teh.
Ignasius Dicky Takndare dalam ‘Mbah Mugi’ menampilkan perempuan tua tetangganya yang ramah menggenggam foto HB IX dan terdapat gantungan ‘terima kos segala bangsa’ di atasnya. Saat membuat karya itu, Dicky ingat sejumlah kawannya yang ditolak ngekos. “Tapi Mbah Mugi mewujudkan visi HB IX yang multikultural dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
Pameran ‘Tahta untuk Rakyat’ akan dibuka secara daring oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus Raja Keraton Yogyakarta saat ini, Sultan HB X, putra HB IX, Jumat (19/3), dan dapat dinikmati publik mulai esok harinya hingga 25 April 2021.