Jakarta, Gatra.com – Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta pemerintah provinsi di sekitar Arafura untuk meningkatkan pengawasan laut secara terpadu Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718.
Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan, dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com di Jakarta, pada Minggu (14/3), menyampaikan, pihaknya meminta peningkatan pengawasan karena WPP 718 merupakan perairan Arafura dan sekitarnya yang selama ini dimanfaatkan oleh tiga provinsi, yaitu Maluku, Papua, dan Papua Barat.
Menurutnya bahwa izin dan kegiatan penangkapan ikan di laut Arafura saat ini merupakan yang terpadat di Indonesia.? Diperkirakan terdapat total sekitar 3.126 kapal ikan ukuran 10-30 GT dengan izin provinsi dan kapal di atas 30 GT dengan izin pusat yang saat ini melakukan penangkapan ikan di laut Arafura.
Laut Arafura adalah wilayah laut dengan produktfitas tinggi dan merupakan daerah fishing ground favorit oleh kapal ikan berbendera Indonesia. Pengawasan bertujuan untuk mencegah praktik IUU fishing dan pelanggaran ketenagakerjaan yang dialami oleh awak kapal perikanan yang melakukan operasi penangangkapan ikan di laut Arafura.
"Angka ini akan bertambah banyak jika memasukkan kapal ikan skala kecil yang berukuran di bawah 10GT yang belum teregistrasi” kata Abdi.
Dengan jumlah armada sebanyak itu, diperkirakan ada sekitar 78.000 orang awak kapal perikanan yang bekerja di kapal-kapal yang melakukan penangkapan ikan di laut Arafura.
"Kami mendapat laporan sejumlah kasus penelantaran awak kapal perikanan di Dobo dan Merauke yang menyebabkan korban sakit dan meninggal dunia" kata Abdi.
Menurutnya, ini sangat tragis, jika kegiatan penangkapan ikan di Arafura masih mengandung unsur kerja paksa atau perbudakan, dan luput dari pengawasan pemerintah.
Banyaknya kapal ikan yang beroperasi di laut Arafura akan memberi tekanan pada keberlanjutan sumberdaya ikan dan membutuhkan upaya pengawasan dari otoritas terkait.
“Masalah yang muncul saat ini adalah terdapat sejumlah kapal yang terindikasi tidak memiliki izin atau izinnya sudah mati, serta kapal ikan dengan izin Provinsi Maluku, tapi melakukan penangkapan ikan di perairan Papua dan Papua Barat,” ujar Abdi.
Selain jumlah armada yang cukup banyak saat ini, di WPP 718 terdapat beberapa Pelabuhan tangkahan yang dimanfaatkan untuk mendaratkan hasil tangkapan. Keberadaan pelabuhan tangkahan atau pelabuhan ilegal seperti yang ditemukan Kepulauan Aru dan Merauke, disinyalir tidak menerapkan aturan perikanan terkait izin, pencatatan hasil tangkapan, BBM, dan perlindungan ketenagakerjaan.
Sementara itu, Koordinator Program DFW Indonesia untuk program Supporting on Combatting IUU Fishing, Subhan Usman, mengatakan bahwa ancaman sumber daya laut di Arafura bukan lagi oleh kapal ikan asing ilegal, tapi oleh kapal ikan skala kecil di bawah 10GT yang tidak teregistrasi, kapal yang tidak melaporkan hasil tangkapan, pelanggaran zona tangkap, dan pelanggaran ketenagakerjaan.
"Dimensi pelanggaran di Arafura cukup kompleks, meliputi armada tangkap tidak teregistrasi, tidak melaporkan hasil tangkapan atau melapor tapi tidak sesuai hasil tangkapan yang sebenarnya atau unreported, serta pekerja yang tidak memiliki asuransi dan perjanjian kerja laut,” kata Subhan.
Pihaknya menyarankan kepada KKP perlu melakukan review dan menyusun ulang strategi pengelolaan WPP 718 dengan menekankan penguatan aspek pengawasan IUUF dan perlindungan tenaga kerja atau awak kapal perikanan.
“Perlu ada konsep baru pengelolaan WPP 718 yang mengintegrasikan perikanan berkelanjutan, pencegahan IUUF dan perlindungan tenaga kerja” kata Subhan.
Untuk itu, Subhan mengatakan, melalui kegiatan Supporting on Combatting IUU Fishing yang saat ini diimplementasikan oleh DFW atas kerja sama ATSEA 2 Project akan mendorong lahirnya strategi baru dalam pengawasan sumberdaya perikanan di laut Arafura.