Purworejo, Gatra.com – Pascareformasi tahun 1998 lalu, masyarakat dinilai makin brutal dalam menyatakan pendapat dan tidak lagi meneladani nilai-nilai luhur Pancasila. Apalagi dengan makin membanjirnya budaya asing yang dapat dengan mudah diakses. Jika tak diantisipasi akan makin mengikis keluhuran budaya bangsa Indonesia.
MPR RI melalui para anggotanya, kemudian menggalakan sosialisasi empat pilar kebangsaan dengan maksud untuk mengingatkan masyarakat akan nilai-nilai kebangsaan, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan NKRI.
"Inti dari semua ialah toleransi, yaitu mengesampingkan perbedaan dan mengutamakan persaudaraan," kata Anggota MPR RI, Bramantyo Suwondo, saat sosialisasi Empat Pilar di Kuwurejo, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Minggu (14/3).
Menurutnya, para pendahulu bangsa ini bercita-cita membentuk negara yang aman dan adil sehingga bisa menjadi rumah aman berbagai golongan. "Menyejahterakan, mencerdaskan warga, dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia," ujarnya.
Sosialisasi dihadiri oleh warga dengan melaksanakan protokol kesehatan. Selain Mas Bram, tampil sebagai pemateri adalah Misbahul Munir yang juga merupakan kader Partai Demokrat.
"Empat pilar sangat penting untuk menjadi penyangga dari gempuran budaya luar negeri dan berbagai tontonan di layar kaca serta layar HP. Banyak yang lebih hafal jalan cerita sinetron daripada Pancasila, apalagi UUD 1945," kata Misbahul di hadapan puluhan warga.
Ia pun lalu menyebut bahwa ibu-ibu sekarang lebih paham jalan cerita sinetron Ikatan Cinta daripada Pancasila. Anak-anak pun lebih mengenal budaya K-Pop daripada wawasan kebangsaan, Pancasila atau UUD 1945.
"Setelah reformasi, UUD 45 pun diamandemen sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 2000-2002 sebagai upaya koreksi jalannya negara dan pembaharuan sesuai dengan keinginan rakyat. Agar kedaulatan rakyat benar-benar dilaksanakan," kata Misbahul.
Sehabis reformasi, lanjutnya, masyarakat justru menjadi brutal dalam berperilaku. Masyarakat mengalami krisis, disorientasi nilai-nilai Pancasila. Etika berbangsa dan bernegara bergeser, banyak yang bertindak tidak beretika, sehingga bertentangan dengan Pancasila, azas taat hukum dan etika.
"Masyarakat sekarang mudah dipolarisasi dan diadu domba. Contohnya saat Pilpres tahun 2014 dan 2019. Saat itu, rakyat seperti terbelah menjadi dua, rakyat cebong dan rakyat kampret. Saling menyerang dan bertengkar hanya gara-gara beda pilihan calon presiden," kata Misbah.
Karena itulah, penting sekali pembudayaan nilai-nilai luhur Pancasila dipraktikkan pada lingkungan terkecil, yaitu keluarga. "Dari lingkungan keluarga nanti ditularkan ke tetangga dan teman-teman sehingga akan menjadi pembudayaan Pancasila," kata Misbah.