Jakarta, Gatra.com – Epidemiolog dari Universitas Griffith, Brisbane, Australia, Dicky Budiman, mengatakan, siapapun tidak boleh mengintervensi tahapan vaksin Covid-19. Prsoes vaksin Nusantara harus sesuai kaidah ilmiah.
"Tidak boleh ada satu produk kesehatan, baik itu obat, vaksin diintervensi oleh ekonomi atau politik. Jadi, harus dipimpin prosedur ilmiah," ujarnya kepada Gatra.com pada Minggu (14/3).
Dicky mengingatkan, semua tahapan harus sesuai metode ilmiah yang berlaku secara global. Jika tidak mematuhi metode ilmiah, vaksi bisa sangat merugikan, khususnya bagi masyarakat.
Menurutnya, vaksin Nusantara baru sebatas hipotesis. Terlebih, ini menggunakan bahan serum darah dari masing-masing individu berbasis sel dendritik yang belum memiliki bukti atau efiden ilmiah, terkait peran vaksin seperti ini untuk penyakit menular.
Menurut Dicky, pengembangan vaksin Nusantara tidak bisa dipaksakan jika belum memenuhi tahapan yang ditentukan. "Tidak boleh ada intervensi politik, karena kontraproduktif dengan vaksinasi yang ada," ujarnya.
Dicky menyampaikan pandangan tersebut saat dimintai tanggapan soal rapat kerja Komisi IX DPR dengan BPOM dan pihak terkait pada Rabu kemarin (10/3). Para anggota dewan mempertanyakan tentang izin uji klinis vaksin Nusantara yang belum dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Para anggota dewan menilai Kepala BPOM, Penny K Lukito, tidak independen karena tidak meluluskan izin vaksin yang digagas mantan Menkes Terawan Agus Putranto. Selain Terawan, vaksin Nusantara ini digagas Universitas Diponegoro (Undip) dan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dokter Kariadi.
Dalam rapat tersebut, Penny mengatakan, pengembangan vaksin Nusantara tidak sesuai uji klinis, sehingga izin tahap atau fase dua belum bisa keluarkan.
Dicky mengapresiasi sikap Penny yang bergeming karena prosesnya harus sesuai tahapan yang berlaku. Menurut Dicky, kalau ini dipaksanan tidak sesuai tahapan ilmiah, risikonya sangat besar, baik materil maupun kesehatan.
"Jika dipaksakan, selain ini tidak visible, tentu akan makan ongkos besar, berisiko besar juga," ujarnya. Selain tidak visible, manfaat kesehatan masyarakat dari penggunaan vaksin tersebut belum tentu ada. "Ini Namanya tidak efisien dan efektif."
Sedangkan saat disoal bahwa BPOM seolah memberikan perlakuan khusus pada vaksin Sinovac dan AstraZeneca, Dicky menjelaskan, kedua vaksin itu sudah melakukan tahapan dan telah terbukti khasiatnya.
Menurutnya, penggunaan vaksin, seperti Sinovac dan AstraZeneca, ini membutuh resources besar, sumber daya manusia, waktu, atensi, dan lainnya. "Nah, jangan dihabiskan oleh satu potensi vaksin [Nusantara] ini yang tidak visible," ujarnya.
Dicky lantas menyinggung vaksin Merah Putih yang sedang dikembangkan Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman. Pengembangan vaksin Merah Putih, kata dia, jelas pertanggungjawaban ilmiahnya.
"Ada potensi manfaatnya dan basis ilmiahnya jelas. Bahkan secara public health juga besar. Itu yang harus diarahkan," katanya.
Senada dengan Dicky, Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Zubairi Djoerban, menyatakan, salut dan mendukung Penny yang belum memberikan izin uji klinis tahap dua vaksin Nusantara.
"Kalau belum memenuhi kaidah klinis, ya beliau [Penny] akan bilang belum. Integritas Badan POM juga sudah teruji ketika merilis EUA untuk Sinovac," katanya kepada wartawan.
Zubairi menyatakan dukungan untuk pengembangan obat dan vaksin dalam rangka kemandirian Indonesia di bidang farmasi. "Saya yakin bisa, asalkan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ini.
Sebelumnya, Zubairi mempertanyakan pernyataan Terawan Agus Putranto perihal keampuhan vaksin Covid-19, yakni vaksin Nusantara yang bisa picu antibodi seumur hidup. "Saya belum menemukan laporan di jurnal mengenai laporan uji klinik tahap satunya. Apalagi fase dua, saya juga belum bisa mencari datanya. Jadi klaim yang terlalu dini," ujarnya.
Dia mengatakan, sampai saat ini belum ada jurnal ilmiah yang memuat temuan uji klinis tahap satu vaksin Nusantara. Dia menegaskan, mendukung setiap penelitian terkait vaksin Covid-19. Namun, Zubairi mengingatkan dari penelitian sampai ke kesimpulan tidak bisa langsung ke konklusi dengan perolehan data minim.
"Kami di dunia kedokteran tak bisa membuat kesimpulan berdasarkan logika saja. Harus berdasarkan ilmiah," katanya.