Palembang, Gatra.com - Banyaknya limbah jengkol di sekitar tempat tinggal, membuat seorang perajin kain Jumputan di Kota Palembang bernama Cahya Sege, memanfaatkan limbah tersebut menjadi pewarna alami untuk kain yang diproduksinya.
Cahya Sege pemilik Butik Palembang Sege, mengatakan kulit jengkol yang diolah dapat menjadi pewarna kain yang memiliki warna unik dan khas.
Warna-warnanya yang dihasilkan pun tidak didapat dari pewarna sintetis.
“Awal mulanya muncul ide garap kulit jengkol itu usai mengikuti pelatihan pewarnaan alami kain dari pemerintah setempat. Dari situlah, saya mengembangkan pewarnaan alami dari bahan alam yang ada di sekitarnya (kulit jengkol),” ujarnya di Palembang, Jumat (12/3).
Adapun alasannya memilih bahan pewarna alami dari kulit jengkol yakni, stoknya tidak pernah habis dan bahan tersebut mudah didapat.
“Sebenarnya, saya mengembangkan bahan lain yang berasal dari buah-buahan khas Sumsel (duku, durian, kayu tanaman kelengkeng, dan manggis). Tapi kan stok buah-buahan itu tergantung musim, makanya kami membutuhkan bahan yang bisa rutin didapat. Jadi, dipilih lah kulit jengkol tersebut,” katanya.
Dibeberkannya, dalam pembuatan pewarna dari kulit jengkol pun cukup mudah. Pertama, kulit jengkol yang dikumpulkan direndam terlebih dahulu dalam air khusus, yakni air hujan atau air murni hasil penyulingan.
“Nah, biasanya itu didapat dari air conditioner. Komposisinya, satu kilo bahan pewarna direndam dalam dua liter air selama 24 jam,” ujarnya.
Usai proses direndam, lanjutnya, air bersama bahan kemudian dipanaskan hingga mendapat setengah dari jumlah air. Dari 20 liter menjadi 10 liter dan dari hasil pemanasan itulah yang akan dijadikan pewarna.
Dijelaskannya, guna mengatur kepekatan warna, pewarna dicampur dengan bahan lainnya sebagai pelekat warna. Mulai dari kapur, tawas, gula merah, dan tunjung atau besi dua sulfat.
“Kalau bahan itu (tawas atau kapur) akan menghasilkan warna yang lebih muda. Untuk warna abu-abu dicampur menggunakan tunjung. Sementara coklat muda itu dicampur pakai gula merah,” katanya.
lanjut Cahya, kain dapat dicelup ke dalam pewarna atau disiramkan. Kendati begitu, ia lebih memilih dengan cara menyiram bahan berulang-ulang ke kain jumputan yang akan diwarnai. Pasalnya, hal itu bisa mendapatkan warna yang diinginkan.
“Biasanya itu (perajin kain) yang lainnya kerap dicelup. Kalau saya pilih disiram berulang kali. Disiram, lalu ditiriskan dua jam, baru disiram lagi hingga warna yang kita inginkan sudah terbentuk. Itu biasanya sampai sembilan kali siram. Makanya produk yang saya hasilkan bisa sama warnanya,” ujarnya.
Beberapa tahun terakhir ini, dalam sepekan ia memproduksi kain jumputan kurang lebih 20 kain yang berbentuk jilbab. Sedangkan untuk bahan kain tiga meteran itu bisa satu sampai empat kain dalam sebulan.
“Kalau jilbab itu dibanderol Rp150 ribu. Kalau yang bahan kain itu kisaran Rp450 ribu. Selain itu, saya juga jual yang berbentuk kaos, kebaya, bahkan jenis pakaian lainnya,” katanya.