Jakarta, Gatra.com - Hitung-hitungan atau The Benefit Of Palm Oil to The Environment itu sebenarnya sudah cukup lama ada, sudah sejak 21 tahun silam.
Hitungan itu milik Robert Henson, seorang ahli ekofisiologi asal Oklahoma City, Amerika Serikat yang melakukan penelitian kelapa sawit di Malaysia. Hasil itu kemudian dia rilis dalam jurnal 'The Rough Guide to Climate Change'.
Dari 2013 lalu, adalah Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Indonesia yang doyan berburu hasil penelitian soal sawit dan kemudian memixingnya. Termasuklah hasil penelitian Henson tadi.
Hasil mixing itu kemudian diurai dan dihadirkan dalam buku yang diberi judul; Mitos dan Fakta Kelapa Sawit.
"Buku Mitos dan Fakta Kelapa Sawit yang ada itu adalah hasil riset seluruh dunia yang kita sesuaikan dengan topik terkini. Semua hasil penelitian itu kredibel. Kalau kita yang meneliti lalu kita publikasikan, dibilang pula nanti subjektif," kata Direktur Eksekutif PASPI, Tungkot Sipayung saat berbincang dengan wartawan termasuk Gatra.com tadi siang.
Menurut lelaki 56 tahun ini, setelah 8 tahun berburu dan mengolah kembali hasil-hasil penelitian para ahli soal sawit tadi, didapatlah kesimpulan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah paru-paru ekosistem.
"Dalam ilmu biologi atau pertanian, apa yang sudah diteliti di Malaysia itu berlaku di seluruh dunia. Begitu juga hasil penelitian di tempat lain," Ketua Tim Lintas Kementerian dan Asosiasi Penyusunan Roadmap Industri Sawit Indonesia ini memastikan.
Tungkot mengurai, dalam kesehariannya, kelapa sawit menyerap karbon dioksida (CO2), membersihkan udara dan menggantinya dengan oksigen (O2). Karbon diserap untuk membentuk tubuh tanaman, minyak sawit dan bio massa.
Intinya kata Tungkot, semua tanaman berproduksi pasti menyerap banyak karbon dioksida. Semakin besar pertumbuhan tanaman, maka semakin besar produksinya.
"Dia akan menyerap banyak CO2 dan menghasilkan banyak O2. Sawit terus bertumbuh sampai 25 tahun. Maka selama itu pula, dia akan terus menerus menyerap CO2 dan menghasilkan O2 yang besar," Tungkot mengurai.
Soal perburuan tadi kata Tungkot, setiap hasil buruan diolah dan kemudian dibawa ke kampus-kampus ternama untuk didiskusikan.
Itulah makanya sampai sekarang, hampir 60an kampus ternama di seantoro Indonesia sudah dijambangi.
Uniknya, rata-rata para guru besar di kampus itu kata Tungkot, kaget dan tak bisa membantah hasil penelitian itu. Para guru besar tadi mengaku kalau selama ini mereka enggak tahu soal kebaikan sawit itu.
Mahasiswa juga begitu, minim informasi soal sawit. Mereka mengaku kalau cerita soal sawit, hanya dapat di medsos. Itupun kebanyakan narasi-narasi yang disebar oleh yang anti sawit. Alhasil, jadilah mahasiswa itu ikut-ikutan anti sawit.
Tapi sekarang, logika umum kalau sawit itu membersihkan udara, sudah menjadi pemikiran orang-orang di kampus meski besaran angka serapan CO2 maupun O2 yang dihasilkan, masih berbeda-beda.
"Kita akan terus melakukan counter issue di kampus dan tiap tahun memang, minimal 10 kampus kita datangi. Dalam waktu dekat kita akan ke kampus UI, ITB, UGM, Udayana dan kampus lain. Lantaran sekarang pandemi, kita bertemu di webinar," terangnya.
Sembari terus menjambangi kampus, PASPI kata Tungkot tetap berburu hasil penelitian. Tapi semua itu tidak akan dimixing lagin untuk Mitos dan Fakta, tapi sudah untuk buku lain.
"Sekarang kita sedang siapkan kontribusi sawit terhadap pencapaian SDG's. Oktober nanti kita launching," ujarnya.
Apapun kebaikan sawit yang didapat dari hasil penelitian kata Tungkot, LSM yang dibayar untuk mengganjal sawit enggak akan perduli.
"Sebab mereka memang dibayar untuk mendepak sawit meski beberapa di antaranya sudah sadar dan kembali ke integritasnya," Tungkot sumringah.
Pendiri, Presidium dan mantan Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Ahmad Zajali tak menampik soal LSM bayaran itu.
"LSM itu bekerja mengikuti trend pembiayaan dari donor internasional, dan akan bubar dengan sendirinya ketika donor tidak membiayai mereka lagi," kata Chairman AZ Law Office Conflict Resolution Center ini kepada Gatra.com
Biasanya kata Zali, sepak terjang LSM sesuai dengan output yang disepakati dalam kontrak kerja dengan donor mereka.
"Mestinya mereka jangan mau didikte pihak donor, tapi sebaliknya donorlah yang harus menyesuaikan diri dengan program strategis LSM itu," katanya.
Abdul Aziz