Jakarta, Gatra.com – Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Prof. Otto Hasibuan, mengatakan, advokat harus mengawal revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Advokat khusunya Peradi, lanjut Otto dalam webinar bertajuk "Urgensi Revisi UU ITE" pada Rabu (10/3), harus mengawal pembuatan maupun revisi UU, mengingat posisinya sebagai organ negara serta penjaga hukum (guardian of law) dan konstitusi (guardian of constitution).
"Advokat, dalam hal suatu undang-undang yang akan direvisi, memiliki peran dan fungsi sebagai end user [pelaksana undang-undang] dari segala masalah yuridis dalam perumusan dan implementasi UU ITE," katanya dalam webinar gelaran Peradi ini.
Selain itu, ujar Otto, demi tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan, advokat wajib memperjuangkan hak-hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dinyatakan dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI).
Dalam negara hukum yang demokratis, advokat sebagaimana diamanatkan UUD 1945 RI Pasal 28D (1), 28 I (4-5) dengan memegang teguh Sumpah Advokat dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 RI di dalam atau di luar peradilan.
Revisi UU ITE memerlukan masukan dari banyak kalangan masyarakat agar menghasilkan hukum positif yang dibutuhkan. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama dalam membuat atau merevisi UU, sehingga memosisikannya pada porsi yang tepat, tidak misuse dan abuse atau overuse karena hukum pasal pidana adalah ultimum remedium alias upaya terakhir.
"Di sinilah peran penting negara dan masyarakat. Negara harus memberikan kebebasan agar warga bisa mengakses informasi dengan bebas," ujarnya.
Menurutnya, setelah direvisi, UU ITE harus menjamin pengguna internet mendapat kebebasan untuk menyampaikan pendapat tanpa harus ditakut-takuti oleh ancaman penjara. Sedangkan masyarakat dalam hal menghormati kebebasan berpendapat dan menghargai keberagaman, juga harus bisa memilah dan memilih informasi.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM), Prof. Eddy HOS Hiariej, menyampaikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat pimpinan (Rapim) meminta atau mengajak untuk merevisi pasal-pasal karet pada UU ITE.
Ia menjelaskan, pembagian hukum pidana menjadi dua, yakni umum (di luar KUHP) dan khusus (KUHP). Hukum pidana khusus dibagi UU Pidana (Hukum Pidana Khusus Internal) dan bukan UU Pidana (Hukum Pidana Khusus Eksternal) jumlahnya kurang lebih 200.
Letak UU ITE dimasukan dalam Hukum Pidana Eksternal, bukan merupkan UU Pidana. Artinya, hukum administrasi yang diberikan sanksi pidana. Pada awalnya untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan dalam dunia teknologi informasi.
"Dalam beberapa kesempatan, saya sudah pernah menyampaikan, dalam Konvensin Kuba tahun 1990 istilahnya computer crime. Tahun 2000 diubah dengan istilah computer related crime," ujarnya.
Pada tahun 2001, konvensi di Budapest, Hungaria. Hasilnya, five keyword untuk menanggulangi kejahatan dunia maya. Tahun 2008 Indonesia mendesak UU ITE disahkan. Maka munculah Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 UU ITE sehingga banyak perdebatan karena bahasanya generalis tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut.
"Pasal 27 ditafsirkan luas tiba-tiba dibatasi dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Sehingga apakah pasal tersebut multitafsir, jawabannya, ya," ujar Eddy.
Ke depan, revisi UU ITE dengan alasan multitafsir adalah kedigdayaan seperti dikatakan Presiden. Saat ini, pemerintah sedang sosialisasi RUU KUHP, sehingga apabila RUU KUHP disahkan maka persoalan yang muncul dalam UU ITE tidak akan muncul lagi.