Medan, Gatra.com - Dimana-mana, sejumlah petinggi terkait program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), selalu menyebut kalau sekarang, syarat untuk mengikuti program prioritas Presiden Jokowi itu sangat mudah. Syaratnya cuma dua; legalitas lahan dan kelembagaan petani.
Tapi khusus untuk petani kelapa sawit di sejumlah daerah di Aceh Nangroe Darussalam dan Sumatera Utara (Sumut), dua syarat itu ternyata tidak cukup.
Rekomendasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) cq Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), harus ada.
Celakanya, yang mengurus dua rekomendasi ini bukan pula dinas pertanian atau dinas perkebunan setempat, tapi petani sendiri.
Selain memakan waktu lama, para petani juga harus merogoh kocek Rp100 ribu perhektar untuk tiap instansi plat merah itu demi mendapatkan dua rekomendasi tadi.
Padahal Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto mengatakan kalau yang berurusan dengan BPN maupun KLHK adalah dinas pertanian atau dinas perkebunan setempat, bukan Petaninya. Itulah gunanya poin verfikasi di dinas itu.
Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumatera Utara, Gus Dalhari Harahap cerita, cikal bakal munculnya dua syarat tadi lantaran di tempat tertentu seperti di Sumut dan Aceh ada ditemukan lahan petani yang tumpang tindih dengan izin perusahaan atau dengan alasan lain.
"Tapi inikan menjadi aneh, kenapa baru sekarang muncul izin perusahaan di lahan sawit petani yang akan menjalani peremajaan? Kalau petani ikut peremajaan, berarti lahannya itu sudah dikuasai minimal 25 tahun," kata lelaki 50 tahun ini saat berbincang dengan Gatra.com, Selasa (9/3).
Yang membikin Gus tak habis pikir, setelah BPN dan BPKH turut campur, verifikasi lahan petani tidak lagi hanya pada sumber masalah tumpang tindih tadi, tapi sudah merembet ke hal lain, termasuk memasukkan peryaratan non gambut.
"Sawit yang berada di lahan gambut, tidak boleh lagi ditanami sawit. Ada apa ini? Sawitnya sudah mau replanting kok baru sekarang cerita gambut?" Gus jengkel.
"Dan tak dijelaskan berapa kedalaman gambut itu dan apa solusinya. Inilah yang membikin petani makin bingung," rutuk Gus.
Apa yang dibilang Gus nampak dalam 15 lembar dokumen yang dikeluarkan oleh BPN Perwakilan Kota Subulussalam Provinsi Aceh Nangroe Darussalam yang dia sodorkan.
Pada lembar yang diteken oleh Kepala BPN Perwakilan Kota Subulussalam, Heriansyah itu, disebutkan bahwa dari 171,972 hektar lahan yang disodorkan oleh Koperasi Serba Usaha Tedoh Hate, hanya 145,391 hektar yang boleh menjalani peremajaan. Sisanya tidak sesuai.
Heri tidak menjelaskan apa dan kenapa sisa lahan itu tidak sesuai. Hanya keterangan lahan bergambut saja yang bisa jadi menggambarkan ketidaksesuaian lahan itu.
Dan berdasarkan surat Heri itu pula, Dinas Pertanian Perkebunan dan Perikanan Kota Subulussalam membikin surat keterangan.
Di surat yang diteken oleh Kadis Pertanian Perkebunan dan Perikanan Kota Subulussalam, Sulisman, itu disebutkan bahwa lahan yang bisa direkomendasikan hanya 145,391 hektar. Lagi-lagi tanpa keterangan detil, kenapa hanya segitu lahan yang boleh.
Apa yang terjadi di Subulussalam ini sudah merembet pula ke Langkat dan Labuhanbatu Utara, Sumut. Para petani kelapa sawit di sana, juga harus mengurus rekomendasi BPN maupun BPKH kalau mau ikut PSR.
Kalau dua rekomendasi itu tidak ada, dinas pertanian atau perkebunan setempat, tidak akan mengeluarkan rekomendasi.
Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung nampak kesal mendengar cerita itu. "Aduh..., syarat apa lagi ini?," katanya kepada Gatra.com.
Mestinya kata Gulat, syarat semacam ini enggak perlu merepotkan petani kalau selama ini antar instansi (dinas pertanian/perkebunan-BPN-KLHK) nyambung.
Tapi oleh ketidaknyambungan itu, lagi-lagi petani kelapa sawit yang justru jadi korban.
"Saya minta jangan ada 'penumpang gelap' di program PSR ini. Jangan korbankan petani demi mendapatkan data yang notabene itu tidak ada hubungannya dengan petani," suara Gulat tegas.
DPP Apkasindo kata Gulat akan segera berkoordinasi dengan Kantor Staf Presiden (KSP) yang notabene sebagai koordinator Reforma Agraria Nasional.
"Ini harus diluruskan. Kasihan Presiden Jokowi yang sudah pontang-panting menggeber program PSR ini, tapi bawahannya enggak mendukung dan bahkan enggak mengerti roh PSR itu," katanya.
Asal tahu saja kata Gulat, roh PSR itu adalah intensifikasi. Dari istilah ini kata Gulat, mestinya bisa dipahami bahwa petani tidak menambah lahan, tapi mengoptimalkan lahan yang sudah ada melalui PSR untuk meningkatkan produktivitas.
"Kalaulah para petani tani menyodorkan lahannya untuk penanaman sawit baru --- tidak replanting --- boleh lah diperlakukan begitu. Ini peremajaan lho. Berarti lahan itu sudah sejak lama diusahai petani. Kenapa sekarang baru dipersoalkan ini itu!" rutuknya.
Sampai saat ini, persoalan yang terjadi di Aceh dan Sumut kata Gulat, belum merembet ke provinsi lain. "DPP Apkasindo akan segera berkoordinasi ke 144 DPD Kabupaten Kota melalui 22 DPW provinsi Apkasindo terkait persoalan ini," ujarnya.
Kepala Dinas Perkebunan Sumut, Lies Handayani Siregar tak menampik dua rekomenasi tadi harus dimiliki oleh petani sawit yang akan ikut PSR.
"Soalnya dari hasil audit BPK, ada temuan bahwa setelah dana hibah PSR petani cair, ternyata lahannya tumpang tindih dengan perusahaan. Akhirnya uang itu harus dikembalikan. Nah biar persoalan semacam ini enggak terulanglah makanya musti ada rekomendasi itu," katanya kepada Gatra.com melalui sambungan telepon, Selasa (9/3).
Hanya saja Lies tak mau kalau pihaknya disebut membiarkan petani mengurus sendiri rekomendasi itu. "Kami Surati kok BPN dan BPKH," ujarnya.
Abdul Aziz