Yogyakarta, Gatra.com – penetapan tersangka atas enam mendiang anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) menuai polemik. Sejumlah pengajar hukum menilai penetapan tersangka itu janggal dan tak seharusnya dilakukan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ‘Polemik Penetapan Tersangka terhadap 6 Arwah Laskar FPI’ gelaran Forum Silaturahmi Advokat Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) – Lembaga Konsultan dan Bantuan Hukum UII, Yogyakarta, Sabtu (6/3).
Pengajar FH UII Mahrus Ali menyatakan kasus ini berdasarkan fakta yang serba belum jelas, terutama soal serangan oleh FPI hingga berujung tewasnya para laskar FPI. “Kalau saling serang bentuknya seperti apa, yang menyerang duluan siapa, seperti apa. Ini tidak jelas,” kata dia.
Ia menjelaskan, jika menggunakan pasal 48 KUHP tentang pembelaan dalam kondisi terpaksa dan adanya ancaman, bisa diasumsikan bahwa para laskar FPI menjadi penyerang dan polisi yang diserang.
Namun, kata Mahrus, kondisi itu harus memenuhi sejumlah syarat, seperti soal adanya serangan dan ancaman tersebut. “Padahal ini tidak jelas serangan dan ancamannya,” ujarnya lagi.
Syarat selanjutnya, bobot serangan dan pembelaan tersebut harus seimbang sesuai asas proporsionalitas. “Jadi kalau serangan pakai pisau, pembelaan pakai peluru itu tidak imbang. Fakta-fakta ini tidak jelas,” katanya.
Ihwal selanjutnya, jika mengacu pasal 170 KUHP, Mahrus menyebut pembelaan itu sebagai upaya terakhir. Menurut dia, saat itu FPI dikuntit padahal mereka tidak sedang melakukan kejahatan. “Pasal itu juga dibuat untuk melindungi kepentingan publik. Kalau begini berarti korbannya polisi dan pelakunya FPI?” katanya.
Mahrus menyebut kasus ini semakin janggal karena ada penetapan tersangka untuk orang yang meninggal. “Padahal tersangka itu orang yang masih hidup. Orang mati enggak mungkin ditetapkan sebagai tersangka maka diskusinya ini (bahas) arwah,” katanya.
Ia menjelaskan penetapan tersangka wajib berdasar dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka. “Perlu pemeriksaan saksi karena ada hearing dan dia bisa melakukan pembelaan diri dan emberi keterangan. Ini tidak ada. Bagaimana diperiksa sementara dia meninggal?’ tuturnya.
Mahrus menyebut jika sebelumnya seseorang yang terlibat kasus telah meninggal, dia tidak bisa jadi tersangka karena tersangka harus ditetapkan pada orang yang masih hidup. “Ini dagelan hukum apa yang dimainkan. Ini mungkin satu-satunya kasus di dunia dan akhirat,” serunya.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo menyatakan pada masa mendatang jika ada kasus serupa, setelah penetapan tersangka pada seorang mendiang, penghentian penyidikan harus seketika dilakukan.
“Kasus ini tidak (ada SP3), sehingga jadi persoalan. Seorang kalau sudah meninggal, kalau bukti memungkinkan dia jadi tersangka, tidak perlu dinyatakan sebagai tersangka dan saat bersamaan harus dihentikan,” tutur Dekan FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.