Pekanbaru, Gatra.com - seharusnya tak ada lagi yang membikin program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di Riau berjalan terseok-seok.
Sebab selain Gubernur Riau, Syamsuar, paham soal manfaat PSR bagi rakyatnya, Dinas Perkebunan yang dikomandani Zulfadli dan ditugasi Syamsuar untuk menggeber percepatan PSR, sudah menggandeng semua asosiasi sawit yang ada.
Mulai dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (ASPEK-PIR) hingga Sawit Masa Depan (SAMADE), diajak.
Makin meleknya petani kelapa sawit tentang besarnya manfaat PSR tadi, jadi amunisi ekstra bagi Pemprov Riau untuk benar-benar membikin program yang digawangi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) itu sangat kinclong.
Tapi sayang, semua kekuatan ini hanya 'menabrak tembok' dan akhirnya mentok. Sebab dari sekitar 2,601 juta hektar kebun sawit milik petani, sekitar 1,628 juta hektar terlilit persoalan klaim kawasan hutan.
Jangankan petani swadaya, petani plasma yang dikirim pemerintah menjadi peserta transmigrasi 40 tahun silam saja, juga bermasalah dengan klaim kawasan hutan itu.
Keluhan inilah yang muncrat dari peserta rapat percepatan PSR di lantai dua Kantor Dinas Perkebunan Riau di kawasan jalan Cut Nyak Dien Pekanbaru, dua hari lalu.
Zulfadli sendiri yang memimpin rapat itu. Dia ditemani sejumlah kepala bidang dan stafnya.
"Banyak petani plasma yang mengajukan kebunnya untuk ikut PSR. Tapi banyak pula yang mentok lantaran kebun mereka diklaim dalam kawasan hutan," keluh Ketua ASPEK-PIR Riau, Sutoyo.
Anggota Tim Percepatan PSR Apkasindo Riau, Eko Jaya Siallagan juga mengeluhkan persoalan yang sama. "Sebetulnya ada puluhan ribu hektar lahan petani sawit yang sudah musti menjalani peremajaan," katanya.
Tapi lantaran lahan itu terindikasi dalam klaim kawasan hutan, petani mentok sebelum mengusulkan. "Di kawasan Pujud Rokan Hilir (Rohil) misalnya. Ada sekitar 866 hektar yang sudah musti ikut PSR, tapi yang bisa mengusulkan hanya sekitar 292 hektar," Eko merinci.
Alhasil kata Eko, untuk 2020-2021, hanya sekitar 3.278,31 hektar lahan petani sawit hasil pendampingan Apkasindo, yang bisa lolos.
Jadi jangan heran pula kalau kemudian, dari 17.500 hektar yang diusulkan Disbun Riau, cuma 9000 hektar yang lolos syarat PSR.
"Inilah yang membikin kita puyeng. Mentoknya di kawasan hutan. Kalau soal semangat, kesiapan dan penelusuran kita di lapangan, sudah maksmal lah" ujar Zulfadli.
Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung yang kebetulan hadir juga dalam rapat itu malah menyebut kalau klaim kawasan hutan yang selama ini menjadi kendala utama PSR, tidak hanya terjadi di Riau, tapi hampir merata di 22 DPW Apkasindo di seluruh Indonesia.
Tahun ini kata kandidat doktor lingkungan Universitas Riau ini, dari target PSR yang diberikan oleh BPDPKS ke 22 provinsi perwakilan Apkasindo, yang paling luas adalah Riau, mencapai 26.500 hektar, lalu Sumatera Selatan (Sumsel) 22.350 hektar.
"Yang terkecil itu Kalimantan Utara (Kaltara) 500 hektar. Untuk di Riau, sebetulnya target itu cukup kecil kalau dibandingkan dengan luas kebun petani yang sudah harus diremajakan. Tapi saat petani mulai mengurus syarat, yang muncul; Loe lagi Loe lagi. Apa itu, ya kawasan hutan," ujarnya.
Lantas apa solusi tercepat supaya petani yang berada dalam klaim kawasan hutan itu bisa ikut PSR?
"Ada baiknya Gubernur yang ada perkebunan sawitnya segera mendiskusikan persoalan ini dengan semua Bupati dan Wali Kota di wilayahnya, termasuk dengan DPRD setempat, jangan nanti setelah program ini berakhir, baru menyesal," katanya.
Mumpung kata Gulat, turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) sudah ada dan itu bisa menjadi solusi bagi petani yang terhambat ikut PSR ulah klaim kawasan hutan tadi.
"Semua pihak harus paduserasi, tidak perlu lagi saling menyalahkan. Solusinya sudah ada di PP UUCK. Sekarang, mau apa enggaknya kita sedikit capek mengejar bola, semua musti jadi 'penyerang', itu lebih baik dari pada menunggu 'diserang'," tegasnya.
Abdul Aziz