Jakarta, Gatra.com – Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof. Komaruddin Hidayat, menyebut bahwa proses demokrasi di Indonesia seperti atau bak permainan arisan.
"Indonesia itu kalau toh bicara demokrasi atau politik, ini ya politik demokrasi arisan," kata Komaruddin saat menjadi pembicara dalam webbinar politik seri ke-12 gelaran Moya Institute bertajuk "Demokrasi Indonesia di Simpang Jalan" pada Jumat (5/3).
Menurutnya, ini tanpa disadari bahwa itu mungkin merupakan sintesa dari agama, negara, dan pluralisme yang diramu menjadi satu. Ini tidak demokrasi yang liberal atau individual dan tidak juga sepenuhnya komunalisme.
"Indonesia itu tadi, masyarakat yang sistemnya, kondisinya memang harus mengikuti demokrasi, dan ini dimanfaatkan juga oleh orientasi achievement [prestasi yakni kekuasaan] tadi," katanya.
Politik berdasarkan versi Barat atau Yunani adalah polis. Tapi bangsa Arab lebih cerdas dengan menyebut politik ini sebagai "siasah". Dalam bahasa Indonesia, artinya siasat karena politik ini penuh dengan siasat atau intrik yang tujuannya untuk meraih kekuasan atau kuasa.
"Politik itu panggung siasat. Karena ini politik arisan, jadi saya ya ketawa, ya menerima, ya mmahami mengapa banyak sekali parpol-parpol baru. Karena satu, itu memang dimungkinkan, kita itu prural. Kedua, demokrasi membuka ruang," katanya.
Komaruddin melanjutkan, politik ini tujuannya untuk mencapai prestasi, yakni kekuasaan, maka dalam perjalannya, mereka akan berkoalisi dan berbagi dengan pihak lain agar memiliki kekuatan yang lebih besar dalam mencapai achievement.
"Pada saatnya nanti, mereka berbagi, bergabung 'saham' rame-rame. Jadi siapa yang punya suara berapa, bergabung yuk kita arisan, sehingga sahamnya diperbesar. Itu tradisi demokrasi politik kesan saya yang ada di Indonesia," ucapnya.
Pada penghujung paparannya, Komaruddin menyampaikan bahwa partai-partai yang oligarhi atau dinasti, akan mulai mengalami keresahan karena mereka sulit melepaskan kepada orang lain secara meritocracy.
Di sisi lain, kalau mengkuti pemikiran sendiri, partainya tidak mempunyai calon yang diandalkan untuk diusung. "Beberapa partai yang dinasti kuat kan itu problemnya," ujar dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, dalam pengantar diskusi menyampaikan, situasi demokrasi di Indonesia terus bergeliat. Ini ditandai dengan fenomena banyaknya partai politik baru yang bermunculan.
"Sebetulnya, [bermunculannya partai politik ini] turut memperkaya khasanan demokrasi di Indonesia dengan segala peristiwa politik terjadi," ucap Hery dalam webbinar yang dipandu Nurfajri Budi Nugroho, Waketum Majelis Sinergi Kalam (Masika) Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) tersebut.
Adapun Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Anis Matta, yang menjadi pembicara kunci dalam diskusi virtual ini, menyampaikan,bagaimana pertumbuhan platform informasi yang amat pesat dan tidak terbatas, sehingga ikut memengaruhi demokrasi Indonesia.
Anis Matta juga menuturkan bahwa bertambahnya tata nilai pada masyarakat Indonesia di luar biasanya akibat arus perubahan sosial yang lebih cepat dari reformasi politik.
"Dulu, dari penelitian saya, hanya ada dua, yaitu agama dan keluarga. Sekarang tambah prestasi karena adanya kebebasan, pendidikan, individual yang mengimbangi semangat komunal," ujarnya.
Sedangkan Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah, mengatakan bahwa demokrasi Indonesia diawali dari terciptanya moderasi partai politik. Sayangnya, partai politik yang lebih dahulu ada tak menyadarinya.
"Akhirnya, partai politik berhenti sebagai institusi berpikir dan hanya berorientasi pada lembaga kekuasaan saja. Partai politik hanya jadi mesin latihan saja untuk kekuasaan," ucap Fahri.
Setelah Fahri, giliran pengamat politik internasional Prof. Imron Cotan menyampaikan materi. Menurutnya, kondisi darurat negara-negara di dunia akibat krisis ekonomi dan pandemi menyebabkan mulai munculnya pemimpin alternatif.
"Pemimpin alternatif tersebut, biasanya justru disukai masyarakat karena dianggap mampu sebagai penyelamat dari krisis," kata Imron.
Terakhir, Direktur Eksekutif Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Ferry Kurnia Rizkiyansyah, menyampaikan, bila merujuk pada indeks demokrasi, Indonesia masih belum memberikan harapan baik, sebab hanya memiliki skor 65. Realita ini, di satu sisi membuat demokrasi Indonesia telah terlaksana, namun juga masih muncul kontraproduktif.