Yogyakarta, Gatra.com – Peneliti GeNose C19, perangkat skrining Covid-19 berbasis embusan napas karya tim Universitas Gadjah Mada (UGM), buka-bukaan proses riset alat itu. Cepatnya riset GeNose hingga kini telah diproduksi dan digunakan membuat penelitian GeNose dipertanyakan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ‘Pandemi Covid-19 Ubah Riset Sains di Indonesia?’ gelaran The Conversation Indonesia dan Direktorat Pengembangan Usaha dan Inovasi UGM, Kamis (4/3).
Co-inventor GeNose, Dian K. Nurputra, menjelaskan GeNose C19 tak lepas dari risetnya mengenai breathalyzer untuk volatile organic compound (VOC/senyawa organik yang mudah menguap) tubercolusis (TBC). Saat itu ia melihat kecepatan pengetesan Covid-19 di Indonesia menggunakan PCR sangat lama.
Dian bersama Kuwat Triyana dan peneliti lain lantas menyusun proof of concept (evaluasi gagasan) mengenai VOC terkait Covid-19. “Tujuan proof of concept itu adalah untuk memetakan dan membandingkan VOC orang sakit Covid-19 dengan VOC orang sehat atau berpenyakit lain,” kata Dian.
Pada tahap evaluasi gagasan tersebut, protokol proof of concept divalidasi oleh Komite Etik FK UGM, Clinicaltrials.gov, dan Dirjen Farmalkes Kemenkes. Setelah itu tim peneliti diizinkan melakukan proof of concept dengan alat prototipe.
Alat prototipe itu menskrining VOC orang sehat, pasien sakit non-Covid-19 (asma, TBC, penyakit paru obstruktif kronis/PPOK), dan orang sakit Covid-19 di RS Bhayangkara dan RS Lapangan Khusus Covid-19. “Napas semua pasien diambil berulangkali pada tahap itu,” kata dia.
Berdasarkan hasil proof of concept, tim peneliti menyusun hipotesis bahwa alat prototipe GeNose C19 bisa menskrining VOC pasien penyakit Covid-19. Hasil tersebut dilaporkan tim peneliti ke Komite Etik dan DitPUI UGM yang telah menaungi tahap proof of concept.
“Kami juga meninjau pustaka terkait penelitian breathalyzer untuk VOC TBC dan menemukan tingkat sensitivitasnya rendah sekali. Setelah kami tinjau, desain secara teknis kurang tepat yaitu pada sampling system-nya,” ungkap Dian.
Menurut dia, sampling system GeNose C19 jauh lebih stabil daripada alat serupa dari negara lain. Pengeluaran VOC akan berbeda-beda tergantung pada cara seseorang mengembuskan napas.
“Kami mencari alveolar VOC yang hanya didapat ketika pasien tidak meniupkan langsung pada alat, sehingga kami sediakan kantong plastik agar pasien dapat embuskan napas seperti biasa,” jelas Dian.
Dian dan tim peneliti memantau dinamika perubahan VOC pasien Covid-19 dari hari pertama pasien dinyatakan positif Covid-19 hingga negatif. Melalui pemantauan ketat itu, tim peneliti GeNose C19 menemukan bahwa pola VOC pasien positif Covid-19 benar-benar berbeda dari orang yang negatif.
Setelah itu, penelitian masuk ke tahap validasi. “Saya sebagai klinisi dan pengguna alat kesehatan juga sangat berpatokan pada validasi alat kesehatan sehingga saya sangat memahami keharusan tahap validasi dan realibilitas itu,” tuturnya.
Alat dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) itu lantas melewati uji diagnostik oleh Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan dan Dirjen Farmalkes. Uji diagnostik pra-pemasaran melibatkan 2.200 sampel.
Untuk pascapemasaran, peneliti mendapatkan hampir 3.000 sampel. “Secara keseluruhan, kami telah melakukan pengujian terhadap sekitar enam ribu sampel napas,” kata Dian.
Dian menyebut terus mengingatkan ke para operator bahwa Standard Operating Procedure (SOP) yang tercantum pada buku manual GeNose C19 harus ditaati.
Selain itu, tim juga terus mengembangkan dan memperbarui kemampuan GeNose C19, seperti menambah fitur analisis lingkungan. Langkah ini supaya pengguna mengoperasikan alat ini di tempat dengan lingkungan yang tepat.
“Perangkat lunak kecerdasan buatan juga akan terus diperbarui. Apabila operator tidak memperbarui, dalam dua minggu perangkat lunak yang lama tidak dapat digunakan,” ujarnya.
Saat ini, GeNose C19 berada pada fase validasi eksternal, yakni uji pascapemasaran oleh tim independen dari RS Sardjito, RS Akademik, Balitbangkes, Universitas Indonesia, dan Universitas Andalas.
Di diskusi ini, peneliti John Curtin School of Medical Research, Australian National University, Ines Atmosukarto, selaku moderator sebelumnya menyoal proses riset GeNose C19.
Menurutnya, GeNose menjadi contoh bagus fleksibelnya penelitian karena tim mengubah riset sesuai kebutuhan, yakni dari soal TBC ke Covid-19. “Tetapi penelitian dasar sampai pemakaian di lapangan kok cepet banget, sehingga mungkin untuk dunia peneliti pasti ingin melihat data, validasi, dan prosesnya,” kata dia.