Jakarta, Gatra.com – Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto, menegaskan bahwa Polisi Siber bertugas menegakkan hukum terhadap tindakan kejahatan sedangkan Polisi Virtual lebih mengarah pada edukasi pada masyarakat.
Dasar hukum dari pembentukan Polisi Siber dan Polisi Virtual dengan SE Nomor 2/2/II/2021, ada tiga argumentasi diciptakannya Polisi Siber, yakni serangan digital dan kejahatan cyber yang kian masif, penyebaran hoaks dan disinformasi serta penyebaran ujaran kebencian dan SARA di media sosial. Teror siber atas aktivis prodemokrasi dilakukan dalam bentuk peretasan maupun pengawasan media sosial.
"Kehadiran Polisi Siber dan Polisi Virtual justru berpotensi menciptakan persepsi ancaman dalam dunia digital. Keberadaan Polisi Siber juga masih minim interaktif (deliberasi) pada ruang publik digital," kata Wijayanto dalam diskusi virtual bertajuk "Aktivisme Digital, Polisi Siber, dan Kemunduran Demokrasi" pada Kamis (5/3).
Hadirnya Polisi Virtual juga belum memberi proteksi pada aktivis prodemokrasi yang menjadi korban kejahatan digital meskipun dengan dukungan anggaran yang besar.
"Adanya Polisi Siber dan Polisi Virtual semakin menguatkan studi atas kebangkitan Polri di era reformasi sebagai aktor dominan dalam politik sipil," ujarnya.
Menurutnya, riset dan analisis LP3ES terhadap warganet dalam Social Network Analysis (SNA) yang dilaksanakan sejak 2 Februasi–3 Maret 2021, telah mencatat sebanyak 8.873 komentar atau reaksi warganet (mention and retweet network), memuculkan beragam komentar warganet terhadap pesan-pesan yang di-post oleh Polisi Siber dan Polisi Virtual.
"Pesan-pesan yang dikirim oleh oleh Polisi Siber dan Polisi Virtual ditanggapi beragam oleh warganet," ujarnya.
Salah satu contohnya, ungkap Wijayanto, adalah pesan dari pihak Polisi Siber pada (4/1/2021), yakni "Kritik bukan tindak pidana, termasuk tindak pidana: fitnah, penghinaan, berita bohong, ujaran kebencian".
Warganet kemudian menanggapi pesan tersebut dan menanyakan apa batas dari masing-masing kriteria yang di-posting Polisi Siber. Sayangnya, pihak Polri tidak merespons pertanyaan-pertanyaan dari warganet yang banyak bermunculan.
"Tidak responsifnya Polisi Siber maupun kini Polisi Virtual dalam menjawab pertanyaan netizen harus menjadi catatan serius akan kurangnya delibersi dan interaksi penegak hukum dalam membangun dialog positif dengan warganet," ujarnya.
Sampai saat ini, data dari SAFEnet mengungkap bahwa polisi siber lebih banyak menyelidiki kasus pencemaran nama. Pasal laporan terbanyak adalah ujaran kebencian. Warga dengan warga banyak melakukan pelaporan.
Meski begitu dosen, guru, mahasiswa, dan pelajar mulai banyak memperoleh sorotan akibat pelaporan. Mayoritas pelapor adalah pejabat publik. Kini Indonesia telah mencapai status “siaga satu” menghadapi Otoritarianisme Digital. Antisipasi ke depan meliputi jalur hukum, ketahanan siber, serta konsolidasi gerakan dan dukungan.