Jakarta, Gatra.com – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Mudzakir, berpendapat bahwa tuntutan jaksa penuntut umum janggal soal penyitaan sejumlah aset milik Direktur PT Hanson International Tkb, terdakwa Benny Tjokrosaputro, dalam perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Jiwasraya.
Mudzakir pada Kamis (4/3), berpendapat demikian karena menurutnya, sejumlah aset yang disita penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak dibuktikan oleh jaksa penuntut umum (JPU) di persidangan hingga terdakwa Benny Tjokrosaputro divonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
"Dia hanya menduga bahwa itu berasal dari tindak pidana. Tidak membuktikan bahwa itu [aset] berasal dari tindak pidana itu. Itu kan yang menjadi masalahnya di situ," katanya.
Menurut Muzdakir, penegak hukum boleh menduga bahwa aset-aset yang dimiliki seorang terdakwa itu berasal dari suatu tindak pidana. Namun, demikian, penyitaan itu harus berdasarkan bukti-bukti keterkaitan dengan suatu tindak pidana yang dituduhkan dan harus dibuktikan di persidangan.
"Ini menjadi pertanyaan pokoknya, bagaimana membuktikan dia [aset] berasal tindak pidana, itu yang enggak ada gitu. Itu yang menjadi masalahnya. Harta Benny belum tentu berasal dari tindak pidana di Jiwasraya," ujarnya.
Mudzakir menyampaikan, jika penyidik maupun jaksa penuntut umum menduga bahwa aset-aset Benny Tjokrosaputro --Bentjok--, itu terkait tindak pidana, boleh saja karena misalnya dia yang bertanggung jawab atas aset-aset tersebut.
"Kalau dia [Bentjok] bertanggung jawab terhadap itu mungkin, tetapi dalam hal menghubungkan antara aset itu dengan ini dari mana, kan semua aset itu perolehannya kapan, sejak kapan, harus dibuktikan semua, sehingga bisa diyakini aset ini dari tindak pidana. Klausalitasnya harus jelas," ujarnya.
Saat dikonfirmasi ulang apakah penuntut umum dalam persidangan tidak membuktikan aset-aset milik terdakwa Bentjok yang disita itu, Mudzakir menilai demikian.
"Seingat saya, kesimpulan yang dibuat itu enggak ada pembuktian. Tidak membuktikan bahwa itu berasal dari tindak pidana yang dilkukan Benny Tjokro itu," katanya.
Ia lantas mencontohkan, jika aset-aset yang disita itu terkait dengan tindak pidana, harusnya dibuktikan bahwa aset itu diperoleh atau perolehannya dari tindak pidana yang dituduhkan.
"Misalnya beli benda-benda itu berasal dari rekning ini, rekning ini. Ini adalah transferan dari hasil tindak pidana korupsi misalnya, karena hubungannya. Itu kan kalau enggak salah, enggak ada yang seperti itu, sehingga merugikan terdakwa, dia punya kekayaan disita," katanya.
Saat disinggung soal upaya hukum banding yang bakal ditempuh terdakwa Bentjok, Mudzakir menyampaikan, itu merupakan hak terdakwa untuk mendapatkan keadilan. Tentunya, soal aset-ast ini harus diungkapkan dan diperiksa ulang.
"Kalau banding, ya dia keberatannya salah satunya ya itu. Kalau di sana kan minta diperiksa, dibuktikan. Nanti diperiksa di Pengadilan Tinggi, PT," ucapnya.
Dalam perkara ini, Pengadilan Tindak Pidana Korusi Jakarta menghukum Benny Tjokrosaputro penjara seumur hidup karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait pengelolaan keuangan dan dana investasi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara Rp16,8 triliun.
Selain itu, Bentjok juga harus membayar uang pengganti sesesar Rp6.078.500.000.000 (Rp6 triliun lebih) dengan ketentuan jika tidak melunasinya maka harta bendanya akan dilelang jaksa untuk menutupinya. Kemudian, Bentjok harus membayar denda sebesar Rp5 miliar subsider 1 tahun kurungan.