Home Politik Said Aqil Komut KAI, Jabatan di BPIP, dan Tuntutan Mundur

Said Aqil Komut KAI, Jabatan di BPIP, dan Tuntutan Mundur

Yogyakarta, Gatra.com - Pengangkatan anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Said Aqil Siradj sebagai Komisaris Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) dinilai menyalahi etika publik karena rangkap jabatan. Ia diminta mundur dari salah satu jabatan itu.

Hal itu disampaikan pegiat antikorupsi Jogja Corruption Watch (JCW) Baharuddin Kamba, Kamis (4/3). "JCW meminta kepada KH Said Aqil Siradj untuk mundur dari salah satu jabatannya, anggota Dewan Pengarah BPIP atau Komut PT KAI," kata dia.

Jika tidak mundur dari salah satu jabatan itu, menurut Kamba, Said Aqil terkesan memberi contok tidak baik bagi pejabat lain. Sebelumnya, Rabu (3/3), Menteri BUMN Erick Thohir mengangkat lima orang sebagai Komisaris Utama KAI.

Salah satu Komisaris Utama (Komut) PT KAI itu adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj. Said  juga merangkap sebagai Komisaris Independen KAI.

Kamba menjelaskan, Said Aqil masih menjabat sebagai anggota BPIP. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai BPIP, hak keuangan Ketua Dewan Pengarah BPIP Rp112 juta, sedangkan gaji anggotanya Rp.100 juta per bulan.

Masa jabatan BPIP lima tahun, pada 2018 - 2023. "Artinya, jika dilihat, ada dugaan rangkap jabatan yang dijabat oleh KH Said Aqil Siradj yakni sebagai Komisaris Utama di PT KAI juga menjabat sebagai anggota dewan pengarah BPIP," tuturnya.

Kamba mengingatkan pernyataan Direktur Said Aqil Siradj Institute, Imdadun Rahmat, pada 2020 di suatu media. Menurut Imdadun, rangkap jabatan di Kementerian BUMN pemborosan keuangan negara karena negara akan kehilangan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyat.

"Masih menurut Imdadun Rahmat, dari sisi norma, rangkap jabatan merupakan pelanggaran kepantasan dan etika publik. Larangan jabatan bermakna bahwa seorang pejabat dituntut fokus pada tanggungjawabannya," ujar Kamba.

Ia menyatakan, rangkap jabatan tidak sesuai etika publik. Sayangnya, fenomena rangkap jabatan bukan hal baru di era Presiden Joko Widodo.

Hal ini lantaran Ombudsman RI telah menemukan sejumlah praktik rangkap jabatan di Kementerian BUMN. "Rangkap jabatan dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan saat merumuskan kebijakan," ujarnya.

1847