Medan, Gatra.com - Sudah lima bulan Kelompok Tani (Poktan) Sehati Desa Halaban Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara (Sumut), menyodorkan lahannya untuk ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Tapi selama itu pula, semua berkas mereka masih ngendon di Dinas Pertanian Kabupaten Langkat. Malah dari sekitar 92 hektar yang diusulkan, 41 hektar sudah tak bisa ikut ke tahap lanjutan.
Sisanya masih menunggu rekomendasi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan, untuk memastikan bahwa lahan 51 hektar itu tidak berada dalam kawasan hutan.
Soal rekom inilah yang membikin petani kelapa sawit di sana bingung. Sebab menurut mereka, semua lahan yang diajukan ikut PSR itu adalah Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang sudah disahkan pada 2018 lalu.
Perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), BPKH dan perwakilan pemerintah daerah, sudah beres mengukur lahan-lahan itu.
"Kami dapat informasi, tahun ini baru ada anggaran untuk membuat sertifikat lahan kami, meski dari yang 51 hektar tadi, 20 hektar sudah bersertifikat," cerita Frengky Pasaribu, Ketua Poktan Sehati, saat berbincang dengan Gatra.com, Rabu (3/3).
Tapi itu tadi kata lelaki 39 tahun ini, walau sudah sah menjadi lahan objek TORA, lahan-lahan mereka masih saja dibilang kawasan hutan.
Celakanya, dari 41 hektar yang dianggap tak layak melanjutkan proses PSR tadi, 30 hektarnya justru sudah bersertifikat hak milik.
"Inilah yang bikin kami puyeng, Pak. Pada 10 Februari lalu kami sudah berkirim surat, tapi sampai sekarang BPKH belum membalas surat itu, enggak tahu masalahnya apa," ujar ayah tiga anak ini.
Frengky pun makin tak enak hati lantaran sembari menunggu surat balasan BPKH, dia dapat kabar pula bahwa lahan mereka itu musti diukur ulang.
"Kalau mau diukur ulang, dari manalah duit kami, Pak? Dulu waktu lahan itu diukur, kami tidak bayar lantaran lahan itu objek TORA," ujarnya.
Galau dengan situasi yang ada, lelaki yang sudah 4 tahun jadi Ketua Poktan Sehati ini pun mencoba curhat ke Dinas Pertanian setempat.
"Dinas bilang harus kita urus, tapi kami enggak didampingi, Pak," katanya.
Sampai sekarang kata Frengky, Poktan Sehati punya anggota 78 orang, luas lahan semua petani sawit yang ada di sana mencapai 150 hektar.
Di Kabupaten Subulussalam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, persoalan yang sama juga terjadi. Para petani kelapa sawit di dua kecamatan yang ada di sana; Sultan Daulat dan Rundeng, musti mengantongi rekomendasi BPN dan BPKH, kalau mau lancar ikut PSR.
Adalah Koperasi Serba Usaha (KSU) Tedoh Hate yang sudah mengalami rumitnya mengurus rekomendasi tadi. Sudahlah rumit, mereka juga musti merogoh kocek yang cukup dalam pula untuk itu.
"Untuk tahap pertama kami mengajukan seluas 151 hektar, kami habis duit Rp30 jutaan. Lahan ini kami usulkan dari Juni 2020 lalu, tapi sekarang baru sampai di tingkat provinsi," cerita Ishak Munthe, Ketua KSU Tedoh Hate, kepada Gatra.com, Rabu (3/3).
Tahap kedua kata lelaki 39 tahun ini, ada 250 hektar yang sedang dalam proses pengajuan. "Untuk ini tentu kami harus mengeluarkan duit lagi," keluh ayah 4 anak ini.
Ishak menyebut, total luas lahan anggota KSU Tedoh Hate saat ini mencapai 1.180 hektar. Kebun sawit itu berada di dua kecamatan dan sejumlah gampong.
Bagi Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumut, Gus Dalhari Harahap, aturan-aturan tak jelas itu dipastikan akan membikin program PSR yang katanya sudah menjadi program strategis nasional ini, akan lelet dan bahkan bisa jadi akan mandek alias gagal.
"Di aturan memang, syarat PSR hanya dua; kelembagaan petani dan legalitas lahan. Tapi di lapangan, muncul lagi dua syarat; rekom BPN dan BPKH. Saat saya meminta aturan itu dibikin tertulis, mereka enggak mau," rutuk lelaki 50 tahun ini kepada Gatra.com.
Mestinya kata Gus, keberadaan lahan petani yang akan ikut PSR itu menjadi pekerjaan dinas terkait pada tahap verifikasi, "Bukan menjadi pekerjaan petani yang sampai harus mengeluarkan uang banyak pula," tegasnya.
Dan kalau misalnya ada tumpang-tindih lahan di daerah lain atau lahan di kawasan hutan, jangan kemudian persoalan yang ada itu digeneralisir lalu dibikin aturan untuk semua. "Kasihan petani itu. Untuk apa ada proses verifikasi kalau petani juga yang harus repot berurusan dengan BPN dan BPKH," ujarnya.
Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto juga menyebut kalau pembuktian lahan petani yang akan ikut PSR tidak tumpang tindih dengan izin-izin lain dan tidak dalam kawasan hutan adalah pekerjaan dinas terkait setempat.
Di Sulawesi Barat kata Heru yang semacam ini sudah berjalan lancar. "Kita sudah sangat memberi kemudahan kepada petani, kok. Kita sudah 'kawainkan' antar lembaga untuk kemudahan itu untuk kita sama-sama selamat," katanya.
Kepala BPKH Wilayah I Medan, Fernando, masih belum menjawab pertanyaan Gatra.com terkait surat permintaan rekomendasi dari petani sawit Besitang itu. "Saya tanya dulu ke bagian teknis, ya. Kebetulan saya sedang rapat pula," katanya kepada Gatra.com, Rabu (3/3) siang.
Abdul Aziz