Jakarta, Gatra.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan LBH Masyarakat menyampaikan sejumlah catatan terkait hakim di Hari Kehamikan yang diperingati setiap 1 Maret.
Nelson Nikodemus Simamora dari LBH Jakarta, pada Senin (1/3), menyampaikan, berbagai catatan ini merupakan hasil kajian kebijakan, pemantauan, serta pengalaman pendampingan terhadap masyarakat miskin, buta hukum, dan kaum marjinal di pengadilan.
Adapun beberapa catatan LBH Jakarta dan LBH Masyarakat ini, yakni:
1. Hakim Terlibat PraktikJudicial Corruption
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 20 hakim yang tersangkut korupsi sejak 2012 hingga 2019. Mirisnya, 20 hakim tersebut terlibat korupsi saat sedang menangani kasus korupsi. Kejadian ini membunuh harapan atas cita-cita terciptanya penegakan hukum yang jujur, adil, serta menjunjung tinggi HAM.
Nelson mengungkapkan, ada dua contoh kasus yang membuka tabir kebobrokan integritas hakim. Pertama, kasus advokat Arif Fitrawan yang menyuap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat melakukan pendampingan kasus perdata pada tahun 2018. Motivasi penyuapan ini karena Arif Fitrawan curiga hakim tersebut sudah mendapat suap dari lawannya.
Kedua, kasus mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi, adalah potret yang menjelaskan sistem pemeriksaan peradilan yang korup telah terjadi sejak pemeriksaan tingkat Pengadilan Negeri hingga MA.
2. Hakim Kerap Mengabaikan Fakta Persidangan
Hakim gagal menciptakan putusan yang berkeadilan karena kerap mengabaikan fakta persidangan dalam pertimbangannya. Ada beberapa fakta kasus soal ini, di antaranya perkara ES, orang dengan disabilitas intelektual.
Menurutnya, hakim pemeriksa perkara Nomor 279/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mengabaikan kondisi retardasi mental terdakwa, terkonfirmasi oleh ahli psikologi forensik yang dihadirkan di persidangan. Bahkan terdakwa tidak memahami kondisinya yang sedang diperiksa (persidangan melalui daring) oleh majelis hakim.
Contoh selanjutnya, kata Nilson, perkara akivis KAMI, Jumhur Hidayat. Hakim pemeriksa Nomor 2/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabaikan hak terdakwa atas akses untuk bertemu dengan kuasa hukumnya.
"Meski hakim mengetahui fakta ini, tidak ada tindakan atau perintah yang dikeluarkan untuk melakukan intervensi, padahal status terdakwa sudah beralih menjadi tahanan pengadilan," ungkapnya.
Contoh lainnya, perkara penyiraman air keras terhadap Penyidik Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Novel Baswedan, dengan terdakwa dua anggota aktif kepolisian. Hakim mengabaikan fakta hukum berkas keterangan saksi fakta yang diduga dihilangkan oleh penyidik sebelum berkas tersebut dilimpahkan ke pengadilan.
Perkara selanjutnya, kasus Baiq Nuril. Hakim tidak memedulikan fakta terdakwa adalah korban yang mendapat pelecehan seksual dari atasannya. Pengabaian ini berakibat terdakwa dijatuhi hukuman pidana yang mencederai nilai keadilan.
Masih soal contoh hakim kerap mengabaikan fakta persidangan, seperti yang terjadi pada gugatan soal Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang. Hakim menolak gugatan lingkungan yang diajukan oleh Greenpeace bersama warga.
Hakim dalam putusannya mengabaikan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan kerugian potensial (potential damage) dalam penerbitan izin lingkungan PLTU Celukan Bawang. Hakim tidak mempertimbangkan kerusakan lingkungan adalah kerusakan yang tidak dapat dipulihkan.
Contoh lainnya, perkara gugatan banjir Jakarta. Hakim menolak class action yang diajukan oleh warga dengan alasan gugatan seharusnya diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan dalih Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).
Padahal, MA tidak pernah mencabut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, yang artinya gugatan tersebut tetap harus diadili oleh Pengadilan Negeri sebagaimana gugatan class action pada umumnya. Selain itu, PTUN juga tidak dapat memberikan hukuman ganti kerugian.
Kemudian, perkara Brigadir Tri Teguh Pujianto (Brigadir TT). Hakim PTUN Semarang melalui putusannya enggan memeriksa keabsahan pemecatan Brigadir TT dari institusi kepolisian karena orientasi seksualnya.
Putusan tersebut telah melukai rasa keadilan karena pemecatan Brigadir TT menurut laporan resmi Komnas HAM merupakan pelanggaran HAM, sehingga Brigadir TT sepatutnya diberikan perlindungan oleh hakim dengan membatalkan pemecatannya.
"Bukan malah 'di-status quo-kan' dengan alasan yang kemudian jelas terbukti keliru berdasarkan SEMA Nomor 10 Tahun 2020," ujarnya.
Contoh terakhir, inkonsistensi hakim dalam memberikan putusan rehabilitasi dalam kasus narkotika. Maruf Bajammal dari LBH Masyarakat, menyampaikan, berdasarkan penelitian LBH Masyarakat terhadap vonis rehabilitasi di Jabodetabek sepanjang tahun 2014.
Menurutnya, sepanjang tahun itu terdapat temuan 522 kasus, di tingkat pengadilan negeri, dengan gramatur barang bukti narkotika di bawah ketentuan maksimal untuk terdakwa mendapatkan vonis rehabilitasi sebagaimana ditentukan dalam Sema No. 4 Tahun 2010.
"Dari 522 kasus tersebut, hanya 28 putusan yang memenuhi semua kriteria SEMA No. 4 Tahun 2010 atau sebesar 5,36%," ujarnya dalam siaran pers.
Sebanyak 20 dari 28 putusan kasus narkotika mendapatkan putusan rehabilitasi atau sebesar 71,43%, sedangkan 8 putusan lainnya mendapatkan pidana penjara. Selain itu, diperoleh data bahwa terdapat 23 putusan mendapatkan vonis rehabilitasi walaupun tidak memenuhi semua kriteria SEMA No. 4 Tahun 2010. Sedangkan sisanya sebanyak 479 kasus berujung ke penjara. "Potret ini masih relevan hingga sekarang," katanya.
3. Hakim Masih Sering Menjatuhkan Pidana Mati
Laporan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam kurun waktu Oktober 2018-Oktober 2019, ada 80 orang dituntut pidana mati, sebanyak 65 di antaranya diputus pidana mati di pengadilan tingkat pertama. Jaksa Agung Muda Pidana Khusu (Pidsus), Ali Mukartono dalam laporan pencapaian kinerja Kejaksaan Agung 2019, menyebut ada lebih 200 terpidana mati yang belum dieksekusi.
Secara spesifik, penjatuhan hukuman mati di tengah pandemi Covid-19, Laporan Reprieve April-Desember 2020 menyebut 55 terpidana dengan tuntutan mati dijatuhi pidana mati dan 4 terpidana dengan tuntutan seumur hidup dijatuhi pidana mati. Kasus dengan penjatuhan pidana mati ini didominasi oleh tindak pidana narkotika.
Tren penjatuhan pidana mati ini tidak sejalan dengan penurunan tindak pidana. Artinya, hukuman mati tidak menimbulkan efek jera, selain melanggengkan pelanggaran HAM dan membiarkan negara melakukan penyiksaan yang kejam, serta tidak bermartabat.
Tingginya penjatuhan pidana mati dalam kondisi pandemi sekalipun dan persidangan yang digelar secara daring (online) yang rentan kendala teknis dan tidak maksimalnya pembuktian dalam persidangan, semakin memperlihatkan kualitas hakim dalam menerapkan prinsip kehati-hatian.
Ketiadaan sensitivitas gender yang dimiliki oleh hakim dalam menangani kasus perempuan, terutama yang terlibat tindak pidana dengan ancaman hukuman mati, membuat hakim tidak mempertimbangkan relasi kuasa dan kerentanan perempuan yang menjadi poin penting keterlibatan perempuan dalam tindak pidana.
LBH Jakarta dan LBH Masyarakat mendesak dalam menangani kasus yang melibatkan perempuan ini, hakim melaksanakan rekomendasi Komisaris Tinggi PBB dalam acara 75th session of the UN General Assembly Virtual High Level Side Event “Death penalty and gender dimension-Exploring disadvantage and systemic barriers affecting death sentences" pada September 2020. Sekaligus melakukan penghapusan pidana mati dalam semua kondisi.
4. Hakim Memakai Alat Bukti yang Didapat dengan Tidak Sah (Penyiksaan) dan permasalahan Praperadilan (upaya paksa dan ganti kerugian).
Pada kasus vandalisme di Tangerang pada 2020, dua terdakwa anak mengaku mendapatkan penyiksaan saat proses penyidikan di Kepolisian Resor Tangerang, dengan cara dipukul, ditendang, diborgol pakai kabel tie hingga darah membeku dan tangan membengkak. Juga dipukul dengan besi di beberapa bagian tubuh dan kepala, lalu dibungkus dengan plastik hingga tidak sadarkan diri, dalam perkara tersebut hakim mengabaikan fakta penyiksaan yang terjadi.
Dalam perkara seperti itu sering kali hakim sangat pasif dengan menghadirkan saksi verballisant, sebagaimana kita ketahui bahwa saksi verbalisant tersebut adalah penyidik yang menangani perkara dan hasilnya sudah bisa diketahui bahwa penyidik tersebut tidak akan mengakui tindakan penyiksaan yang dilakukan.
Indonesia memang belum menganut prinsip exclusionary rules, namun Pasal 52 KUHAP menyebut, “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.
Namun, pada praktiknya hakim cenderung mengesampingkan pengakuan terdakwa di persidangan atas penyiksaan dan perbuatan larangan lain, yang dialami terdakwa selama menjalani proses hukum sejak di tingkat penyidikan.
Selain itu, dalam kasus praperadilan atas upaya paksa polisi terhadap Ravio Patra. Hakim menutup fakta penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan oleh polisi tidak dalam konteks penyidikan. Alat bukti yang diajukan oleh kuasa hukum sama sekali tidak dipertimbangkan hakim dalam penetapannya.
Ada juga upaya hukum atas peradilan sesat yang dialami pengamen Cipulir sebagai korban salah tangkap. Upaya praperadilan untuk mendapatkan pemulihan hak restitusi dan ganti kerugian ini digugurkan oleh hakim dengan alasan kedaluwarsa yang tidak tepat.
Hakim mengabaikan hukum bahwa batas waktu pengajuan dapat dilakukan paling lama 3 bulan sejak pemohon mendapat petikan putusan atau salinan putusan. Namun hakim mengabaikan ketentuan alternatif yang tercantum dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah No 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
5. Persidangan Virtual (Online) Banyak Melanggar Hak Terdakwa
Pengalaman LBH Jakarta dan LBH Masyarakat mendampingi terdakwa di persidangan dalam kondisi Covid-19, hakim cenderung memaksakan sidang dilakukan secara daring tanpa mempertimbangan hak terdakwa di persidangan. Khususnya pada agenda pembuktian atau pemeriksaan pokok perkara.
Sementara dalam konsideran menimbang huruf c Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (Perma 4/2020), “bahwa dengan adanya perkara yang terkendala keadaan tertentu membutuhkan penyelesaian secara cepat dengan tetap menghormati hak asasi manusia”. Penyelesaian secara cepat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan hal yang tidak bisa diabaikan.
Pasal 2 Ayat (1) Perma Nomor 4 Tahun 2020 juga mengatur bahwa “persidangan dilaksanakan di ruang sidang pengadilan dengan dihadiri penuntut dan terdakwa dengan didampingi atau tidak didampingi oleh penasihat hukum, kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Kemudian, Pasal 2 Ayat (2) Perma Nomor 4 Tahun 2020 “dalam keadaan tertentu baik sejak awal persidangan perkara maupun pada saat persidangan perkara sedang berlangsung, hakim atau majelis hakim karena jabatannya atau karena atas permintaan dari penuntut dan atau terdakwa atau penasihat hukum dapat menetapkan persidangan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) maupun secara elektronik….”Membaca ketentuan ini semestinya persidangan diutamakan secara langsung. Pada kondisi tertentu yang mengharuskan persidangan secara elektronik harus melalui prosedur penetapan hakim atau majelis hakim".
Pengabaian hak-hak terdakwa dalam sidang secara online dapat dilihat dari kasus yang sudah disebut sebelumnya, yakni terdakwa dengan retardasi mental di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Serta kasus Aktivis KAMI, Jumhur Hidayat, yang diperiksa melalui persidangan online tanpa didahului oleh penetapan, prosedur hukum sebagaimana yang diatur dalam Perma Nomor 4 Tahun 2020.
Selanjutnya, untuk pemeriksaan saksi berdasarkan Pasal 11 Ayat (2) Perma Nomor 4 Tahun 2020 “pemeriksaan saksi dan atau ahli dilakukan dalam ruang sidang pengadilan meskipun persidangan dilakukan secara elektronik”, maka penasihat hukum menilai tidak berlandasan dan menabrak peraturan jika saksi juga tidak dapat didengar keterangan di persidangan.
Namun dalam praktiknya, hakim cenderung tidak mempertimbangkan hal di atas. Misalnya dalam kasus dugaan penyebaran berita bohong yang dilakukan oleh Jumhur Hidayat. Awalnya, majelis hakim pemeriksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memaksa saksi didengarkan keterangannya secara virtual.
"Hal ini menyulitkan kami, sebagai tim kuasa hukum untuk menguji ulang keterangan-keterangan saksi di persidangan," ujar Nilson.
6. Mekanisme Pelaporan atau Pengaduan Hakim Tidak Transparan, Imparsial, Efektif dan Akuntabel
Pada 2019, Komisi Yudisial (KY) mencatat telah menerima 1.544 laporan masyarakat dan 891 surat tembusan pada 2 Januari- 23 Desember 2019. Laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) tersebut paling banyak disampaikan melalui jasa pengiriman surat (pos), yaitu 893 laporan.
Berdasarkan jenis perkara, masalah perdata mendominasi laporan yang masuk ke KY, yaitu 686 laporan. Untuk perkara pidana berada di bawahnya dengan jumlah laporan 464 laporan.
Selain itu, ada juga pengaduan terkait perkara agama sebanyak 90 laporan, Tata Usaha Negara 82 laporan, Tipikor 50 laporan, pemilu 36 laporan, perselisihan hubungan industrial 34 laporan, dan lingkungan 30 laporan (Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Sukma Violetta).
Berdasarkan informasi pengaduan yang masuk ke KY tersebut, selaras dengan pengalaman LBH Jakarta dan LBH Masyarakat dalam melakukan pendampingan di persidangan yang banyak menemukan pelanggaran hak terdakwa yang dilakukan dan dibiarkan oleh hakim pemeriksa perkara.
Selain itu, sebelas laporan atau aduan LBH Jakarta dan LBH Masyarakat yang diajukan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA), namun Bawas MA cenderung defensif dan seolah-olah membela hakim. Selain itu, Bawas MA juga enggan mengumumkan putusan atas laporan tersebut kepada publik.
Lebih mendasar dari itu, pelapor atau pengadu tidak pernah dilibatkan dalam proses penanganan perkara. Misalnya, tidak pernah dimintai keterangan dan atau bukti. Bahkan tidak ada pemberitahuan atas perkembangan pengaduan atau pelaporan, serta tidak mendapatkan penjelasan atas alasan putusan yang membebaskan hakim dari sanksi.