Jakarta, Gatra.com - Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) menyampaikan rasa terimakasih secara tertulis kepada Presiden Jokowi, Menteri terkait dan sejumlah akademisi dan pakar yang telah beres menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) hingga menjadi PP.
Rasa terima kasih itu mencuat lantaran Presiden Jokowi telah menghadirkan ketenangan di kalangan petani dengan tidak menerapkan sanksi pidana dalam PP yang sudah diteken pada 2 Februari 2021 itu.
Selain itu, usulan Apkasindo agar frasa 'perkebunan' diakomodir dalam PP 23 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, diterima. Ini berarti perdebatan yang terjadi selama ini tentang apakah lahan perkebunan masuk dalam kategori lahan garapan atau tidak, menjadi terjawab.
Hal lain yang membuat DPP Apkasindo bersyukur adalah usulan perorangan terkait kepemilikan lahan 5 hektar dan sudah dikuasai minimal 5 tahun, juga diterima.
"Tadinya yang 5 hektar itu untuk tiap kepala keluarga, tapi kemudian disetujui menjadi milik perorangan, alhmadulillah tidak dikenai sanksi denda pula," kata Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung saat menggelar konfrensi pers virtual, Senin (1/3).
Untuk lahan petani yang tidak bertempat tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan dan luasnya di atas 5 hektar hingga 25 hektar, juga diakomodir.
Dalam PP 24 tahun 2021 juga telah diberikan ruang bagi badan usaha dan masyarakat dengan menyetujui usulan Apkasindo bahwa Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) bisa menjadi perizinan berusaha bagi petani, layaknya Izin Usaha Perkebunan (IUP) bagi korporasi.
Baca juga: Habis Bayar Denda, Masalah Bertambah
Hanya saja, biar PP yang sudah diteken Presiden Jokowi ini berjalan lancar dan benar-benar seirima dengan roh 'mempermudah' yang diusung oleh UUCK, Apkasindo berharap kepada menteri terkait, saat membikin aturan teknis, sederet hal ini bisa menjadi perhatian penting;
"Pertama tidak tepat mencantumkan syarat penguasaan minimal 20 tahun pada kebun sawit yang berada di kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP), baru bisa dikeluarkan dari kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan," kata anggota Dewan Pakar Bidang Hukum DPP Apkasindo, Samuel Hutasoit.
Syarat penguasaan 20 tahun itu kata Magister Hukum jebolan Universitas Indonesia ini baru relevan dipakai kalau tidak ditemukan bukti penguasaan tanah. Misalnya Girik, Letter C, Sertipikat Hak Atas Tanah, verklaring dan yang lainnya.
"Usul kami kepada menteri terkait agar dibuatkan ketentuan, kalau penguasaan tanah bisa dibuktikan dengan bukti-bukti yang sah, syarat 20 tahun tadi dikesampingkan. Ini sejalan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah," ujarnya.
Lantas terkait izin usaha perkebunan dikeluarkan saat dimulainya kegiatan usaha perkebunan, menurut Apkasindo ini juga tidak pas dibebankan kepada petani.
"Apkasindo minta dibuat pengecualian di dalam Peraturan Menteri LHK bagi para petani sawit, sebab ketentuan pembuatan STDB baru terbit pada tahun 2013, dan aturan mainnya baru muncul 2018, sementara sawit rakyat sudah ditanam jauh sebelum regulasi itu terbit," terang Samuel.
Apkasindo kata Samuel mendorong peraturan menteri yang akan diterbitkan mengakomodir STDB sebagai salah satu perizinan berusaha sepanjang STDB itu diterbitkan untuk menjelaskan keberadaan kebun sawit yang sudah eksisting.
"Dengan begitu para petani sawit yang kebunnya sudah terbangun sebelum terbitnya UUCK tetap dapat memperoleh STDB dan dinyatakan sebagai pelaku usaha yang memiliki perizinan berusaha," katanya.
Hal penting laginya kata Samuel, petani sawit yang berkebun di areal yang diklaim kawasan hutan, tidak mengambil hasil hutan, tapi hanya mengambil manfaat dari pohon sawit.
Jadi kurang tepat kalau kemudian petani diminta membayar Provisi Sumber Daya Alam (PSDH) - Dana Reboisasi (DR). Soalnya PSDH-DR ini adalah pungutan hasil usaha dari hasil hutan negara.
"Sementara petani tidak pernah memanfaatkan kayu baik untuk dijual atau tujuan penghasilan lainnya," tegas Samuel.
Dari deretan koreksi dan permintaan Apkasindo tadi kata Samuel, organisasi petani sawit terbesar di dunia ini mendorong agar Kementerian LHK dan Kementerian Pertanian segera melakukan sinkronisasi penerbitan regulasi terkait.
Misalnya Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Direktur Jenderal yang mengatur tentang kebun sawit.
"Peraturan itu khususnya terkait percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang menjadi program prioritas Presiden Jokowi untuk pemulihan ekonomi di masa pandemic Covid 19. Terus petani boleh mengurus Sertifikasi Indonesian Sustanaible Palm Oil (ISPO) sebagai syarat wajib dalam Peraturan Presiden No. 44/2020," rinci Samuel.
Khusus regulasi yang mengatur Perhutanan Sosial, agar diberikan akses legal bagi petani untuk berkebun sawit, mengikuti program PSR dan ISPO. Kegiatan itu tidak bisa dikriminalisasi dengan alibi berkebun di dalam kawasan hutan.
"Soal formulasi penghitungan denda administrasi bagi yang tidak punya perizinan di bidang kehutanan, Apkasindo mengusulkan agar dalam peraturan teknis diatur bahwa keuntungan bersih petani dihitung berdasarkan kondisi petani, bukan berdasarkan rumus atau literatur," katanya.
Alasan itu muncul lantaran kondisi budidaya sawit dan sarana jalan (infrastruktur) petani masih jauh dari yang ideal.
"Musti hati-hati menentukan besaran pendapatan petani. Khusus kepada petani sawit, Apkasindo mengusulkan sebaiknya ditetapkan denda Rp1 juta perhektar tanpa faktor pengali lainnya. Kalau rumus yang sudah ada dalam lampairan PP 24 2021 itu dipaksakan, kami pastikan hanya sekitar 10% petani yang sanggup membayar denda itu," ujarnya.
Apkasindo kata Samuel sangat berharap Presiden Jokowi, Komisi IV DPR dan kementerian terkait mempertimbangkan catatan yang dibikin Apkasindo ini.
Kalau pasal-pasal yang memberatkan petani tetap dipaksakan kata Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino, dipastikan akan mengganggu capaian PSR sebagai Program Strategis Nasional (PSN).
Sebab petani yang terjebak dalam kawasan hutan tidak akan bisa punya sertifikat ISPO seperti yang tertuang dalam Inpres RAN Kelapa Sawit itu. Program Kemandirian Energi Nasional (bio energi melalui EBT) juga akan terganggu.
"Pengangguran baru akan muncul lantaran aktivitas perkebunan sawit rakyat mati, urbanisasi penduduk dari desa-desa ke perkotaan akan terjadi lantaran petani berusaha mencari pekerjaan demi bertahan hidup. Terakhir, kegaduhan akan muncul oleh kondisi ekonomi dan sosial yang terganggu. Ini bukan dugaan, tapi akan menjadi fakta," ujar auditor ISPO ini.
Abdul Aziz