Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas merasa kecewa dan tidak mengerti mengapa pemerintah menetapkan industri minuman keras dimasukkan ke dalam kategori usaha terbuka.
“Saya benar-benar kecewa dan tidak mengerti, padahal industri minuman keras sebelumnya masuk ke dalam kategori bidang usaha tertutup,” katanya, di Jakarta, Kamis (25/2).
Anwar menganggap terjadi hal ini karena pemerintah melihat industri ini sebagai salah satu industri yang masuk ke dalam daftar positif investasi (DPI) terhitung sejak tahun ini.
“Jadi saya melihat inilah salah satu buah dari disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang jelas-jelas tampak lebih mengedepankan pertimbangan dan kepentingan pengusaha dari pada kepentingan rakyat,” katanya.
Anwar menilai seharusnya pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pelindung rakyat tentu tidakla akan memberi izin bagi usaha-usaha yang akan merugikan dan merusak serta akan menimbulkan kemudharatan bagi rakyatnya, tapi disitulah anehnya dimana pemerintah malah membuat kebijakan yang menentang dan bertentangan dengan tugas dan fungsinya tersebut.
“Saya melihat dengan adanya kebijakan ini tampak sekali bahwa manusia dan bangsa ini telah dilihat dan diposisikan oleh pemerintah dan dunia usaha sebagai objek yang bisa dieksploitasi bagi kepentingan mendapatkan keuntungan atau profit yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pemerintah dan dunia usaha. Bukannya pembangunan dan dunia usaha itu yang harus dilihat sebagai medium untuk menciptakan sebesar-besar kebaikan dan kemaslahatan serta kesejahteraan bagi rakyat dan masyarakat luas,” katanya.
Dengan kehadiran kebijakan ini lanjut Anwar, dia melihat bangsa ini sekarang seperti bangsa yang telah kehilangan arah karena tidak lagi jelas apa yang menjadi pegangan bagi pemerintah dalam mengelola negara ini.
“Dimulutnya mereka masih bicara dan berteriak-teriak tentang Pancasila dan UUD 1945 tapi dalam prakteknya yang mereka terapkan adalah sistim ekonomi liberalisme kapitalisme yang bukan merupakan karakter dan jati diri kita sebagai bangsa,” katanya.