Home Info Sawit Cerita 'Uang Dapur' Dari Sudut Kandis

Cerita 'Uang Dapur' Dari Sudut Kandis

Pekanbaru, Gatra.com - Lelaki 47 tahun itu nampak sumringah saat menengok hamparan rerimbunan pohon kelapa sawit di Desa Libo Jaya kecamatan Kandis Kabupaten Siak, Provinsi Riau itu, Sabtu pekan lalu.

Sesekali dia mencolek bungkil berondolan yang sudah mulai menguning yang terselip di pelepah salah satu pohon kelapa sawit yang baru berumur 51 bulan itu.

"Walau baru berumur segitu, tapi hasilnya sudah 2 ton perhektar perbulan lho, Pak," kata Hidro Hariantes saat berbincang dengan Gatra.com, kemarin, mimiknya kelihatan bangga.

Kalau satu kepala keluarga punya 2 hektar dan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit Rp2000 perkilogram, ini berarti sudah Rp8 juta penghasilan kotor tiap petani di sana.

Ayah 3 anak ini adalah satu dari 34 kepala keluarga pemilik kebun kelapa sawit itu. Total luasnya mencapai 124,91 hektar. Dia sendiri punya 4 hektar. Ini berarti, sudah Rp16 juta sebulan penghasilan kotor yang masuk ke kocek Hidro kalau dihitung dari hasil tadi.

"Enggak semua total luasan tadi berada di Desa Libo Jaya, sisanya terpencar di Desa Telaga Samsam dan Kandis Kota. Tapi semuanya tergabung dalam Koperasi Swadaya Mas Bersama (KSMB). Kebetulan saya sekretaris di koperasi itu," ujarnya.

Uniknya, meski masih tergolong seumur jagung, KSMB sudah punya deposito Rp1 miliar. Duit itu bukan dari hasil panen yang 2 ton perhektar tadi.

Tapi justru dari 'buah pasir' --- buah yang Berat Janjang Rata-rata (BJR) nya kurang dari 5 kilogram ---yang dijual koperasi ke pabrik.

"Kami punya kesepakatan bersama kalau sampai umur 48 bulan, hasil panen enggak dibagikan. Tapi kami depositokan untuk kepentingan infrastruktur kebun," Hidro mengurai.

Apa yang kini sudah dinikmati oleh petani kata Hidro, enggak didapat begitu saja. Adalah PT Ivo Mas Tunggal, anak perusahaan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT SMART Tbk) di balik itu semua.

Lelaki ini pun langsung terbayang pada masa 6 tahun silam. Waktu itu dia dan bahkan petani-petani swadaya yang ada di Kandis sudah mulai pusing lantaran pohon-pohon kelapa sawit mereka yang tahun tanam 1991-1992 itu sudah harus diremajakan.

"Tahu sendirilah kalau untuk meremajakan kebun, duitnya enggak sedikit. Mau ngutang ke bank, surat lahan cuma Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR)," cerita Hidro.

Untunglah kata Hidro, dia punya kenalan, kebetulan karyawan Ivo Mas. Si karyawan cerita kalau perusahaan sedang punya program mencari lahan-lahan petani untuk diajak bekerjasama.

"Sawit-sawit yang sudah tua, nanti akan diremajakan perusahaan," begitulah cerita si karyawan itu.

Hidro tak mau melewatkan kesempatan itu. Dia langsung berusaha menjumpai manajemen perusahaan.

"Singkat cerita, dari hasil saya ketemu manajemen, perusahaan pun mulai sosialisasi ke petani. Yang berminat jadi mitra perusahaan, disuruh membikin pernyataan. Kami pun disuruh mendirikan koperasi sebagai wadah petani," katanya.

Sampai di sini kata Hidro, tidak langsung berjalan mulus. Sebab ada saja petani yang menolak dan bahkan curiga.

"Bersama teman, saya berusaha meyakinkan mereka. Saya bilang ke yang enggak mau itu bahwa program ini bukan untuk saat ini saja, tapi demi masa depan anak-anak petani juga. Sebab kalau petani ikut program, sertifikat tanah jelas. Kalau surat tanah sertifikat, nilai aset petani melonjak tinggi dan lahan lebih terjamin" terangnya.

Bagi Hidro, sebagai petani swadaya, program yang disodorkan perusahaan benar-benar kesempatan emas. Sudahlah kebun diremajakan, sertifikat hak milik kebun dibikinkan pula.

"Yang penting kebun tidak di kawasan hutan dan suratnya tidak 'sekolah' di bank. Kalaupun ada surat kebun petani yang 'sekolah', perusahaan masih mempertimbangkan untuk ikut. Nah, yang bikin enaknya lagi, selama 48 bulan, petani diberikan pinjaman uang dapur Rp500 ribu perhektar. Siapa saja yang mau bekerja di kebun, diperbolehkan, sesuai kebutuhan dan persyaratan tenaga kerja," rinci Hidro.

Kalau dipikir-pikir kata Hidro, bukan cuma petani yang dapat kemudahan, tapi juga koperasi. Lewat kerjasama yang disebut kemitraan strategis itu, operasional kebun lebih ringan.

Harga pupuk di bawah harga pasar. Ini terjadi lantaran perusahaan langsung berhubungan dengan produsen pupuk. Kedua, siklus perawatan terjamin dan administrasi kebun rapi," ujarnya.

"Kalau petani yang mengurus sendiri, enggak mungkin hasil yang didapat seperti sekarang, 2 ton per hektar. Sebab bisa saja petani yang tadinya punya duit untuk beli pupuk, duitnya dipakai untuk keperluan lain. Giliran tiba masa memupuk, duit enggak ada. Alhasil siklus pemupukan terganggu. Kalau pemupukan terganggu, gimana pula hasil panen akan tinggi?" dia bertanya.

Dampak dari hasil yang sudah dirasakan oleh petani tadi kata Hidro, satu persatu petani sawit yang lahannya sudah harus diremajakan, mulai berdatangan. Mereka minta ikut jadi peserta peremajaan kebun. 

Januari tahun lalu, penanaman tahap II dimulai. Luasnya mencapai 326 hektar. Nasib mereka lebih mujur lantaran perusahaan memfasilitasi mereka ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Mereka kebagian bantuan Rp25 juta perhektar.

"Nah yang tahap III ada sekitar 66 hektar, sedang dalam proses verifikasi Dinas Perkebunan. Mereka ini bakal kebagian dana bantuan PSR Rp30 juta per hektar," ujarnya.


Abdul Aziz

 

1405