Jakarta, Gatra.com – Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Sahid (Usahid) Jakarta, Laksanto Utomo, mengingatkan Pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif) agar tidak membuat pasal abu-abu atau multitafsir yang lebih dikenal dengan istilah pasal karet dalam undang-undang.
Menurut Laksanto, pasal karet tersebut tentunya akan merugikan dan menakutkan bagi masyarakat karena implementasinya sangat elastis. Artinya, pasal ini bisa "dimulurkan" atau "dipendekan" sesuai kepentingan. Pasal seperti ini bisa disebut "draconian".
Laksanto di Jakarta pada Senin (22/2), menyebut istilah pasal "draconian" ini menanggapi wacana pemerintah untuk revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena maraknya saling lapor antarmasyarakat memanfaatkan sejumlah pasal "karet".
Laksanto menjelaskan, dalam Black'law Dictionary (1999) disebutkan bahwa draconian This term derivers from Draco the name of the ancient Athenian law giver. Maksudnya, pada masa silam, di Athena, Yunani, ada seseorang bernama Draco yang ahli membuat peraturan.
Peraturan yang dibuat oleh Draco, lanjut Laksanto, itu berisi sanksi keras, sadis, dan sangat menakutkan bagi masyarakat. Para pemimpin "authoritarian" sangat menyukai pemikiran Draco.
Para penjajah dari barat pada masa lalu, pun kerap menggunakan undang-undang (UU) atau peraturan yang di dalamnya menggandung pasal karet, seperti ketentuan soal penghinaan kepada pemimpin, pejabat, atau orang-orang berpengaruh, atau subversif yang memuat ancaman, dan lain-lain.
Pada intinya, pasal atau ketentuan tersebut hanya bisa ditafsirkan oleh para otoritas hukum yang direstui oleh negara. Tafsirannya pun tergantung kepentingan rezim, sehinga tidak pernah ajeg.
Lantas, berkembanglah negara demokrasi pada abad 20 yang tujuannya membahagiakan rakyatnya. A.V. Decey dalam introduction to the law of the Constitutions (Miriam Budiardjo, 2013, menyebutkan bahwa absence of arbitrary, tidak membiarkan kesewenang-wenangan kekuasaan dan adanya persamaan hak di muka hukum.
Ringkasnya, kata Laksanto, bahwa hukum tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk pilih tebang kepada seseorang atau kelompok. Sejumlah negara di Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Eropa menerapkan kesamaan di depan hukum (equality before the law).
Implementasi kesamaan di depan hukum kala itu belum optimal. Namun, kontrol sosialnya relatif kuat jika terjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penguasa.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar aparat penegak hukum harus super hati-hati dalam menerjemahkan pasal-pasal multitafsir atau karet. Kapolri harus mengawasi penerapan pasal-pasal multitafsir pada UU ITE itu secara ketat.
"Pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. Buat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal Undang-Undang ITE biar jelas," kata Presiden.
Namun, apabila keberadaan undang-undang tersebut dirasakan belum dapat memberikan rasa keadilan, Presiden bahkan menegaskan akan meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk bersama-sama merevisi UU ITE sehingga dapat menjamin rasa keadilan di masyarakat.
"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi Undang-Undang ITE ini karena di sinilah hulunya. Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ucapnya.