Palembang, Gatra.com - Harga karet di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) tidak stabil setiap harinya, terkadang naik dan terkadang pula menurun.
Hal itu diungkapkan Asisten Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel, Nur Ahmadi.
Menurutnya, harga karet di Bumi Sriwijaya ini per hari memang terus mengalami perubahan dan tidak stabil. Bahkan, harganya itu juga tidak bisa dipastikan.
“Ya, terkadang naik, kadang juga turun sekian rupiah,” ujarnya di Palembang, Senin (22/2).
Dikatakannya, rata-rata tiap bulan harganya menurun, misalnya, semula harga pada Desember 2020 lalu seharga Rp 14.097 per kilogram (kg), kini menurun menjadi Rp 13.924 per kg untuk kondisi karet Kadar Karet Kering (KKK) 70 persen.
“Kalau penyebabnya itu karena pasar uang internasional, permintaan konsumen, dan tersedianya karet tersebut,” katanya.
Kendati begitu, lanjutnya, untuk stok karet di wilayahnya selalu ada setiap harinya. Pihaknya pun berusaha menyiapkan stok meski kadang harganya tidak stabil di pasar.
“Harga karet juga tergantung dari kadarnya yang setiap harinya berbeda-beda. Ada KKK 100 persen, KKK 70 persen, KKK 60 persen, KKK 50 persen, serta KKK 40 persen,” ujarnya.
Sedangkan untuk kualitas karet ekspor sendiri, sambungnya, itu kualitasnya standar atau lebih dikenal dengan Standar Indonesia Rubber (SIR), karena telah melalui proses pengolahan di pabrik.
“Kami (Gapkindo Sumsel) menaungi 29 pabrik di Sumsel. Selain di Sumsel, ada juga di Babel (Bangka Belitung). Namun, kami di sini sebagai asosiasi yang ditunjuk untuk mengurusi karet Indonesia, khususnya di wilayah Sumsel,” katanya.
Kepala Bidang (Kabid) Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Provinsi Sumsel, Rudi Arpian, menjelaskan harga komoditi karet di wilayahnya sangat tergantung dengan harga internasional. Khususnya di Bursa Singapore Comodity (SICOM), setiap hari harga bisa naik atau turun.
“Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi harga karet di Pasar Internasional. Setidaknya ada enam faktor yang mempengaruhi, yakni nilai tukar rupiah terhadap dollar, penggunaan karet sintetis sebagai kompetitor karet alam, Supplay dan Demand di pasar karet Internasional, perkembangan industri berbahan baku karet, faktor cuaca dan hama penyakit, serta permainan spekulan di Pasar Berjangka International,” ujarnya.
Sejak masa pendemi Covid-19, katanya, harga di Pasar Internasional mendapat harga keseimbangan baru, Supply sama dengan Demand. Dimana Permintaan Industri Hilir berbahan baku karet lagi menurun dan produksi karet dari negara negara produsen pun saat ini juga menurun, akibat penyakit gugur daun tahun lalu belum pulih dan cuaca ekstrim di negara produsen karet.
“Untuk Sumsel harga FOB Rp 18 sampai Rp 19 ribu per kg untuk KKK 100 persen sudah cukup baik. Itu berlangsung sejak pekan kedua pada Oktober sampai pekan ketiga pada Februari 2021,” katanya.
Dijelaskannya, ditingkat kelembagaan Petani UPPB harga saat ini berfluktuasi antara Rp 9 sampai Rp 11 ribu per kg untuk karet mingguan dengan KKK antara 50 persen hingga 60 persen.
Sedangkan di luar UPPB, petani tradisional (+ 75 persen dari jumlah KK petani karet) hanya menikmati harga Rp 6 sampai Rp 8 ribu per kg ini disebabkan oleh KKK mereka dibawah 50 persen.
“Ya, itu disebabkan karena umur simpan mereka tidak sampai satu pekan. Biasanya umur 2-3 hari sudah mereka jual, mengingat kebutuhan rumah tangga yang mendesak. Masih juga ada kebiasan petani merendam karet ke dalam kolam serta tidak menjaga kebersihan karet dari tatal dan tanah,” ujarnya.
Upaya yang dilakukan Dinas Perkebunan provinsi setempat dengan memberikan bahan pembeku anjuran dan mendorong UPPB untuk memanfaatkan Dana Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalaui dana itu, UPPB dapat memberikan pinjaman dana talangan kepada petani tradisional yang butuh uang dimuka dan pada saat lelang mingguan, dua mingguan maupun lelang bulanan uang tersebut dapat dikembalikan.
“Di UPPB juga mereka diajarkan untuk menggunakan bahan pembeku anjuran, termasuk edukasi kerugian apabila mereka merendam atau mencampur karetnya dengan bahan bukan karet,” katanya.
Saat ini, lanjutnya, petani di Sumsel makin tertarik untuk bergabung atau membentuk UPPB baru. Sebab, itu dinilai lebih menguntungkan sehingga total UPPB yang sudah terbentuk ada 279 UPPB yang tersebar di 14 kabupaten dan kota.
“Target tahun depan (2022), kita naikkan dari 50 UPPB baru menjadi 75 UPPB. Ya, walaupun dengan anggaran yang semakin kecil dibanding dengan ketersediaan anggaran di 2021 ini,” ujarnya.