Jakarta, Gatra.com – Pegiat PAKU ITE dan ICAIOS The Aceh Institute, serta dosen Unsyiah, Saiful Mahdi, mengatakan bahwa tidak cukup hanya merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menyelesaikan persoalan digital Indonesia.
"Tidak bisa diselesaikan dengan melakukan revisi UU ITE, terlebih dengan penambahan interpretasi seperti wacana yang disampaikan Jokowi," katanya.
Saiful dalam diskusi bertajuk "Kuasa Digital, Pembungkaman Kritik dan Wacana Revisi UU ITE" gelaran Pusat Studi Hukum dan HAM CESDA LP3ES pada akhir pekan ini, mengatakan, perlu meninjau ulang berbagai UU yang menjadi masalah yang lebih mendasar terkait kebijakan digital di Indonesia ini.
Menurutnya, desain politik hukum teknologi digital seharusnya lebih menyeluruh, bukan revisi pasal, dan interpretasi parsial, melainkan Presiden dan DPR harus merevisi menyeluruh dan mengevaluasi atas UU yang ada, yakni UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi, maupun menegaskan pengaturan yang lebih baik dalam rencana legislasi, misalnya RUU Pelindungan Data Pribadi dan RUU Keamanan Siber.
Hak digital, lanjut dia, adalah hak asasi manusia, maka pembatasan-pembatasannya pun seharusnya mengacu pada standar hukum hak asasi manusia, misalnya memanfaatkan standar, doktrin, panduan, atau komentar umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Prinsip-prinsip Siracusa, prinsip Paris, merupakan doktrin hukum yang bisa dimanfaatkan untuk tetap menjamin dan melindungi kebebasan ekspresi, berpendapat, dan perlindungan pribadi di ranah digital.
Saiful pun memberikan perspektif dari sisi korban kriminalisasi UU ITE. Sebagai perkembangan kasus, ia menyampai bahwa sampai sekarang statusnya masih ‘digantung’ sebagai terdakwa sejak 27 Juli 2020.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Banda Aceh menyatakan bahwa Saiful mendapat hukuman 3 bulan penjara dengan denda Rp10 juta setelah 18 kali sidang. Kemudian, setelah terjerat kasus tersebut, dan melalui proses seleksi, ia tergabung dalam PAKU ITE.
Sejak berdiri, Paku ITE memperjuangkan aspirasi terkait pencabutan atau revisi besar-besaran UU ITE. Revisi yang parsial, bahkan yang total sekali pun belum tentu bisa menjawab masalah mendasar, termaksud di lingkungan perguruan tinggi.
UU ITE ini adalah salah satu ‘alat gebuk’ yang mungkin digunakan dalam struktur relasi kekuasaan di kampus. Padahal, seebuah undang-undang seharusnya melindungi warga negara dari negara dan sesama warga negara, tetapi yang sering terjadi adalah penghukuman.
Sementara itu, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto, menyampaikan hasil riset dari Center for Media and Democracy dari tanggal 12 hingga 19 Februari 2021, yang menunjukkan bahwa ada 126.970 percakapan atau interaksi di sosial media terkait imbauan Jokowi terkait kritik beberapa waktu lalu.
Sayangnya, 56 ribu di antaranya berisikan sentimen negatif yang puncaknya terjadi pada tanggal 16 Januari 2021. Emosi takut adalah yang paling mendominasi percakapan warga di internet, sebanyak 2,9 ribu.
Respons negatif tersebut distimulus oleh statement-statement tokoh-tokoh publik seperti Agus Harimukti Yudhoyono (AHY), Jusuf Kalla (JK), Bintang Emon dan sebagainya. Narasi digital dipenuhi dengan isu-isu buzzer, apresiasi KSP, dan sebagainya.
Menariknya, sebanyak 69,9% interaksi diinisiasi oleh pemuda dalam rentang usia 18-30 tahun. Dengan kata lain, kontribusi kaum muda menjadi salah satu aktor yang sangat aktif mengangkat dan mengolah wacana politik tersebut. Sehingga, muncul kewarganegaraan digital yang berusaha mengklaim hak-hak digital mereka.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Indriaswati Dyah Saptaningrum, menyampaikan bahwa sebagai sebuah target kebijakan, internet memiliki karakteristik yang khas dan terkait dengan desain infrastruktur teknis dan kemampuan membawa perubahan sosial di masyarakat. Sehingga, dibutuhkan pendekatan regulasi yang berbeda.
Secara teknis, internet didesain sebagai sistem yang terbuka sehingga kontrolnya bersifat menyebar dan tidak berpusat, serta terbuka untuk terus dikembangkan. Pada awal perkembangannya, mengandalkan pengaturan dan kontrol yang sifatnya kolektif, serta melibatkan dominasi komunitas teknis, yakni teknisi di bidang ICT.
Kemudian, realita dewasa ini memperjelas bahwa kehadiran negara menjadi semakin jelas dan secara signifikan menjadi lebih sering. Hal tersebut dikarenakan jumlah pengguna yang semakin meningkat yang juga berdampak pada isu keamanan, serta pertumbuhan ekonomi internet dari akses hingga datafikasi.
Kelompok masyarakat sipil termaksud pemain baru dalam kontestasi regulasi digital, sehingga pada masa penyusunan pertama UU ITE, isu-isu kebebasan berpendapat tidak menjadi prioritas. Terlebih, ada pula pengaruh kepentingan politik jangka pendek pada saat penyusunan pertama, yaitu masalah isu pornografi.
Kemudian, ketika direvisi pada tahun 2016 pun juga dilakukan sebagai quickwin dari pemerintah pasca-Pemilu yang merepresentasikan kebijakan populis. Di sisi lain, warga sipil terlalu fokus pada membatasi peranan negara tanpa menyentuh aspek-aspek penting meregulasi aktor non-negara, seperti platform digital yang memiliki kemampuan mengatur perilaku pengguna, di antaranya Google Assistant, Smart Home, Gojek, dan sebagainya.