Pekanbaru, Gatra.com - Anggota Panitia Kerja (Panja) Minyak dan Gas (Migas) DPR RI, Abdul Wahid menyebut kalau sampai saat ini proses transisi pengelolaan Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke Pertamina sudah mencapai 85%.
Semua sistem, data dan yang terkait operasional kata lelaki 41 tahun ini sudah beres beres, termasuk karyawan CPI yang masih mau bekerja, diambil oleh pertamina menjadi pekerjanya.
Tinggal lagi yang belum beres itu kata anggota Komisi VII DPR RI ini adalah proses transisi Local Business Development (LBD) yang selama ini menjadi program CPI, Enhanced Oil Recovery (EOR) Surfaktan dan pengelola pembangkit listrik dan uap Cogeneration (Cogen).
"LBD musti ditransisikan dan harus diakomodir Pertamina. Sebab ini menyangkut kepentingan masyarakat lokal, jadi kita minta supaya Pertamina memasukkan itu dalam bagian dari yang harus ditransisikan," ujar ayah dua anak ini saat berbincang dengan Gatra.com di Pekanbaru, dua hari lalu.
Terkait Participating Interest (PI) yang menjadi hak Pemprov Riau kata lelaki asal Indragiri Hilir ini, bisa saja dalam bentu uang ready, bisa pula gendongan.
"Maksudnya gendongan itu adalah saham kosong yang berangsur diisi dari bagi hasil untung sampai mencukupi. Nanti PI itu kan bisa ditarik lagi," Wahid mengurai.
Terus terkait ekosistem dan ekologi, sampai saat ini kata Wahid masih debateble. CPI sudah menaruh uang jaminan sekitar US$265 juta di kas Negara untuk memulihkan lingkungan.
Tapi apakah duit ini sudah bisa dipakai, ini yang belum tahu. Bagi saya, semestinya uang jaminan ini di angka minimal US$1 miliar. Musti disesuaikan dengan luasan lingkungan yang akan dipulihkan di blok seluas itu," katanya.
Dari sederet hal yang berkaitan dengan transisi tadi kata Wahid, leability atau hutang yang yang musti dilunasi, menjadi hal yang dia khawatirkan.
"Jangan nanti leability yang mestinya tanggung jawab CPI, beralih pula ke Pertamina. Kejadian semacam ini sering terjadi. Bisa jadi lantaran proses transisinya yang tidak cermat atau ada kongkalikong. Potensi kayak begini akan selalu ada, tergantung siapa yang pandai memainkan," Wahid mewanti-wanti.
Terakhir yang menjadi catatan Wahid tentang Blok Rokan itu adalah produksi yang terus menurun. Penurunan ini kata Wahid tak lepas dari kondisi sumur-sumur minyak yang sudah tua.
Jadi, solusinya adalah, eksplorasi baru harus dilakukan. "Lima tahun terakhir CPI enggak pernah lagi melakukan eksplorasi. Kita bersama SKK Migas sudah mendorong supaya eksplorasi dilakukan," katanya.
Baca juga: Menyoal Cogen di Blok Rokan
Nah, di rapat-rapat dengan Pertamina, Wahid sering juga menanyakan kesanggupan duit Pertamina mengelola Blok Rokan. Sebab duit untuk ini tidak sedikit, harus ada sekitar Rp30 triliun untuk operasional setahun.
"Ada enggak uang Pertamina segitu dalam setahun? Jangan nanti gara-gara modal, terjadi decreased production yang luar biasa. Di Blok Rokan ini, minyaknya heavy oil, kalau operasional sempat terhenti, minyak akan beku, butuh banyak duit mengencerkan lagi," katanya.
Meski soal duit itu menjadi pertanyaan kata Wahid, bukan berarti Komisi VII ragu dengan duit Pertamina. "Hanya mempertanyakan, sebab ini kali pertama Pertamina mengelola blok seluas ini," ujarnya.
Dari penelusuran Gatra.com, PSC Rokan adalah Production Sharing Contract antara Pertamina dan CPI tanggal 9 Agustus 1971.
PSC itu kemudian diamandemen berdasarkan persetujuan Menteri Pertambangan tanggal 24 Desember 1983 dan tanggal 15 Oktober 1992.
Waktu itu CPI mendapat hak kuasa pertambangan minyak dan gas bumi di Sumatera Bagian Tengah (Blok Rokan) sekitar 9.898 km2.
Kontrak awal berlangsung hingga 8 Agustus 2002 kemudian diperpanjangan hingga 8 Agustus 2021.
Hanya saja setelah kontrak awal kelar, area tambang CPI dikurangi 35%. Yang tersisa 65% atau seluas 6.433 km2 itu, itulah Blok Rokan sekaran, atau yang dikenal juga dengan Blok Kangguru lantaran bentuknya dalam peta seperti Kangguru.
Blok Kangguru dioperasikan CPI di tiga lapangan minyak utama: Duri, Minas dan Bekasap. Ada sekitar 6.178 sumur di Blok Kangguru.
Lapangan Duri memproduksi minyak yang dikenal dengan nama Duri Crude. Lapangan Duri ditemukan pada 1941 dan mulai berproduksi tahun 1958.
Lalu lapangan Minas adalah lapangan minyak terluas yang pernah ditemukan di Asia Tenggara. Lapangan ini ditemukan pada 1941 dan mulai berproduksi tahun 1952. Minas menghasilkan Sumatran Light Crude (SLC).
Terakhir lapangan Bekasap. Lapangan ini punya sejumlah lapangan minyak kecil produktif yang memproduksi light crude.