Jakarta, Gatra.com – Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang, menyampaikan bahwa pembenahan sumber daya manusia (SDM) merupakan kunci untuk menghentikan munculnya kasus pertanahan, di antaranya, ada lebih dari satu sertifikat.
"Saya melihat yang perlu dibenahi adalah SDM. Kenapa? Karena masalah-masalah sertifikat ganda muncul karena oknum di Kementerian ATR/BPN," katanya kepada wartawan, Kamis (18/2).
Ia berpendapat demikian, karena terjadinya sertifat ganda akibat ada permainan oknum. Baginya, penerapan sertifikat elektronik tanah tidak menjamin tidak terjadi lagi lebih dari satu sertifikat selama SDM-nya tidak ditingkatkan integritasnya.
Terlebih, lanjut Junimart, bahwa upaya digitalisasi dikhususkan dulu untuk internal BPN. Sebatas memastikan data kementerian satu data. "Jadi, ketika ada kasus sertifikat ganda, bisa ketahuan mana yang bukan produk BPN. itu saja," ujarnya.
Junimart mengatakan, Komisi II akan menjadwaIkan memanggil Kementerian ATR/BPN untuk mempertanyakan penerapan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik ini. "Apa tujuannya? Kalau cuma memenuhi UU Omnibus Law tidak harus," ujarnya.
Anggota DPR, Abdul Rachman Thaha, sependapat dengan pandangan Junimart. ATR/BPN harus meningkatkan sistem dan penindikan tegas terhadap para oknum yang menyalahi aturan.
legislator asal Sulawesi Tengah (Sulteng) tersebut mengungkapkan bahwa masih banyak tanah di berbagai daerah masih bermasalah. Belum lagi mafia-mafia tanah yang terkadang melakukan penerbitan sertifikat ganda itu dilakukan dengan berkerja sama oleh oknum BPN. Ini sebenarnya bukan masalah baru," katanya.
Ia berpendapat bahwa perlu ada kajian lagi tentang rencana tersebut sebelum program sertifikat elektronik ini diterapkan. Ini perlu dilakukan agar tidak terjadi masalah-masalah baru soal pertanahan, seperti misalnya masalah batas-batas tanah yang tidak sesuai dengan sertifikat fisik yang dimiliki masyarakat.
"Pihak ATR/BPN perlu mengedepankan asas kehatian-hatian untuk mengubah sertifikat fisik ke sertifikat elektronik. Ini sangat rawan, bisa memunculkan konflik di tengah masyarakat, apalagi di era gital begini semua bisa direkayasa,” sebutnya.
Sementara itu, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), Rukka Sombolinggi, menyampaikan masih banyak tanah bermasalah di berbagai daerah. "Belum lagi para mafia tanah yang terkadang melakukan penerbitan sertifikat ganda itu dilakukan dengan berkerja sama oleh oknum BPN. Ini sebenarnya bukan masalah baru," ujarnya.
Rukka khawatir sertifikat tanah elektronik akan semakin melanggengkan perampasan wilayah adat. Terlebih, sejauh ini, belum ada sertifikat tanah kolektif yang diberikan pemerintah kepada masyarakat adat.
"Konsen kami adalah ketika ini akan dijadikan alat memperluas dan merampas hak wilayah adat untuk perusahaan,” katanya.
Rukka pun mempertanyakan urgensi penerapan sertifikat tanah elektronik saat ini. Padahal, pemerintah harus menyelesaikan dulu konflik-konflik pertanahan sebelum bicara soal sertifikat elektronik.
"Ini bisa sangat mengancam dan membuat masif perampasan tanah adat oleh korporasi dan individu yang masuk mengkavling-kavlingkan wilayah adat. Sekarang semua sudah terjadi di mana-mana. Pejabat dan politisi bagaimana bisa punya tanah di wilayah adat,” ucapnya.