Semarang, Gatra.com - Perbedaaan data jumlah pasien Covid-19 dari pemerintah pusat dan daerah masih sering terjadi. Hal ini menjadi salah satu polemik yang sampai saat ini belum terpecahkan.
Di Jawa Tengah saja, perbedaan data antara pusat dengan daerah tak hanya sekali terjadi. Sebagai contohnya adalah perbedaan data pada akhir November 2020 lalu. Dimana data dari pemerintah pusat, Jawa Tengah mengalami penambahan jumlah pasien Covid harian tertinggi di Indonesia dengan jumlah kasus mencapai 2.036 kasus padahal data Pemprov hanya 400an kasus.
Pemprov Jateng sempat memprotes database yang disampaikan oleh Satgas Covid-19 Pusat. Dan ternyata setelah ditelusuri, data yang diunggah satgas Covid Pusat terdapat banyak nama yang dobel.
Anung Sugihantono, Ketua Tim Ahli Percepatan Penanggulangan Covid Jateng mengakui, memang kondisi yang terjadi saat ini seperti itu. Hal itu kata dia karena dari awal platform yang dipakai pemerintah daerah dengan pemerintah pusat tidak sama.
"Pada tahap awal karena semua yang berkaitan dengan pemeriksaan laboratorium terveriikasi ada di pusat. Karena bebannya banyak kemudian ada delay," katanya, Rabu (17/2).
Disebutkannya, karena perbedaan platform tersebut membuat pengambilan data tidak bisa realtime.
Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. Di Kota Magelang terdapat selisih data hampir 2000an dan di Kabupaten Magelang 1000an data. Setelah ditelusuri ternyata data tersebut berasal dari tahun 2020 yang belum terinput dan belum terverifikasi.
"Hari ini, Rabu(17/2) saya baru menyelesaikan data di Kabupaten Magelang dan Kota Magelang. Ada geseh (Selisih) cukup banyak, dan ternyata itu data dari tahun lalu yang belum terinput. Inputnya tidak tepat waktu. Alhamdulilah hari ini semua sudah selesai," ujarnya.
Contoh lain kata dia seperti yang terjadi di Jabar pada Rabu (17/2), dimana diumumkan terjadi kenaikan kasus lebih dari 4000. Dia yakin, jumlah tersebut bukan hanya hari ini saja, melainkan dari hari atau bulan bahkan tahun sebelumnya.
"Saya tidak yakin data itu hari ini, tapi data dari yang sebelumnya. Tumpukan bulan-bulan sebelumnya kemudian baru dimasukan hari ini sehingga seolah-olah Jabar tinggi banget," imbuhnya.
Dia mengaku sangat mendukung Menteri Kesehatan (Menkes) yang baru Budi Gunadi Sadikin yang fokus terhadap data valid jumlah kasus Covid-19. Hal itu karena dengan data yang valid dan terverifikasi dengan benar, akan berpengaruh terhadap kebijakan yang tepat.
"Misalnya untuk PPKM Mikro. Di salah satu RT di terapkan PPKM Mikro, masyarakat tidak boleh kemana-mana. Padahal datanya ternyata, adalah data bulan lalu yang dipakai untuk ambil kebijakan ini kan menjadi tidak tepat," ucapnya.
Untuk itu lanjutnya, satu data yang terverifikasi antara daerah dan pusat harus benar-benar dilakukan yang sifatnya interpopabilitas. Karena sistem yang dipakai sekarang, beda-beda antara daerah dan pusat. "Dengan sistem propabilitas, kalau saya memasukan data Jateng maka dipusat akan langsung tampil. Kalau sebelumnya kan tidak seperti itu, kita kirim data, baru kemudian pusat menginput lagi sehingga sangat rawan terjadi perbedaan," katanya.
Tidak hanya jumlah kasus Covid-19 yang masih amburadul, data keterisian rumah sakit pun masih menjadi salah satu problem.
Menurut Anung hal itu tidak lepas dari ketertiban faskes dalam melaporkan data. Sehingga bisa jadi, yang seharunya rumah sakit itu sudah kosong, namun karena ada keterlambatan input data, akhirnya dalam laporan rumah sakit masih penuh.
"Awal Januari memang RS penuh itu memang bener, tapi di bulan Februari sekarang sudah banyak yang kosong. Sekarang sudah bisa dicek melalui aplikasi SINARAP. Bisa dicek. Mudah-mudahan semakin baik," tandasnya.
Epidemilog Undip Dr. Budi Laksono menambahkan, database memang masih menjadi problem, di banyak sektor. "Sistem single number semoga akan memperbaiki keadaan," tambahnya.