Jakarta, Gatra.com - Tak berlebihan sebenarnya jika Presiden Jokowi maupun Dirut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman jengkel bahkan marah ulah gencarnya pembusukan yang dilakukan oleh oknum-oknum di Benua Eropa dan Amerika terhadap sawit.
Soalnya walau dari sisi manapun kelapa sawit itu sangat berdampak positif, Indonesia justru tak pernah lengah.
Buktinya jauh-jauh hari, sederet regulasi sudah dibikin untuk menangkal potensi negatif yang bakal muncul akibat kelapa sawit itu.
Tengok sajalah, demi kelestarian Pulau Kalimantan, 2007 silam, Indonesia sudah membikin join conservation dengan Brunei Darussalam dan Malaysia.
Lantas pada 2011 silam, Indonesian Sustainabel Palm Oil (ISPO) dibikin. Di tahun yang sama, moratorium dan perbaikan manajemen hutan dan gambut juga dilakukan.
Empat tahun kemudian, aturan main soal pengelolaan dan pencegahan kebakaran hutan juga dibikin, begitu juga dengan kebijakan penataan lahan, sertifikasi ISPO dan menghadirkan BPDPKS.
Terus pada 2016, penataan lahan hutan sekunder, menghadirkan Badan Restorasi Gambut (BRG), program satu peta hingga mandatori Biodiesel, juga dilakukan, termasuklah dua tahun kemudian moratorium perluasan kebun kelapa sawit juga dibikin.
Energi baru terbarukan juga digenjot untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Itulah makanya mandatori pemakaian bauran B30 bahkan hingga B50, dikejar.
Nah, kalau dipikir sepintas, hadirnya sederet regulasi tadi, seolah-olah Indonesia telah melakukan kesalahan besar.
Padahal aturan itu dibikin justru sebagai bentuk kepatuhan dan kecintaan Indonesia pada alam meski sebenarnya secara hitung-hitungan, luas tutupan hutan Indonesia masih nomor dua terluas di dunia setelah Brazil.
Tapi itu tadilah, semua regulasi yang dibikin tadi, justru tidak dianggap oleh oknum-oknum pembenci sawit itu.
Setelah kampanye negatif sawit sebagai penyebab kolesterol, degradasi lingkungan, polusi, Orang Utan, biodiversity, gambut, kebakaran hutan dilakukan, pada 2015 lalu, sawit Indonesia kembali disebut sebagai penyebab utama deforestasi, peat clearing, termasuklah persoalan kesehatan digadang-gadang hingga kemudian muncul istilah palm oil labelling.
Bahkan pada rentang 2018-2020, isu deforestasi, pekerja di bawah umur dan ILUC UE (Will Phase out palm oil biodiesel from EU market) makin digembar-gemborkan. Sebegitu sadiskah Indonesia, tunggu dulu!
"Kehadiran BPDPKS juga bagian dari upaya Indonesia mewujudkan sustainable sawit, sebab lewat BPDPKS lah energi baru terbarukan biodiesel dan program peremajaan pekebun sawit untuk intensifikasi lahan, digeber. Enggak ada lagi sebenarnya yang belum dilakukan Indonesia demi sawit yang sustainable. Meski, seperti yang saya bilang tadi, dari sisi manapun sawit ini bagus," urai Eddy kepada Gatra.com, Rabu (17/2).
Dari sisi penggunaan lahan kata lelaki 68 tahun ini, boleh dibilang sawit Indonesia 10 kali lebih hemat ketimbang lahan yang dipakai oleh Eropa dan Amerika untuk menanam Soybean, Sunflower dan Rapeseed.
Ini berarti, jika tutupan hutan yang ditebas untuk menanam, maka Soybean, Sunflower dan Rapeseed lah yang paling banyak menghabisi tutupan hutan.
Soybean menghabiskan lahan 122 juta hektar, hasil panennya cuma 45,8 juta ton. Kalau dihitung-hitung, produktifitasnya cuma 0,4 ton perhektar.
Lalu Sunflower yang memakai tanah 25 juta hektar, hanya menghasilkan 15,9 juta ton. Ini berarti produktifitasnya cuma 0,6 ton per hektar.
Terus Rapeseed yang memakai tanah 36 juta hektar, hasil panennya cuma 25,8 juta ton. Kalau dikonversi, produktifitasnya cuma 0,7 ton perhektar.
Sawit, lahan yang dipakai cuma 16,38 juta hektar, hasil panennya malah 65 juta ton dengan produktifitas 4 ton perhektar.
Alhasil, walau cuma memakai lahan seluas itu, 42% suplay minyak nabati dunia, sudah bersumber dari sawit. Besaran ini termasuklah akumulasi dari Malaysia dan negara penghasil sawit lainnya.
Di dalam negeri, sawit ini telah menghidupi 21,4 juta jiwa yang tersebar di lebih dari 190 kabupaten kota, menghasilkan nilai ekspor rata-rata USD21,4 miliar dan menyumbang pajak di kisaran Rp14 triliun-Rp20 triliun pertahun.
"Dan perkebunan sawit yang berkembang di Indonesia justru mengisi tanah terlantar akibat ilegal logging. Ini artinya, kelapa sawit justru menghijaukan kembali," kata Eddy.
Lantas sawit juga telah terbukti menciptakan lapangan kerja, terutama di pedesaan. Mereduksi karbon dan menyediakan tempat hidup aneka ragam hayati.
Soal karbon ini, dua puluh satu tahun lalu, persis Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan lahir, Robert Henson, seorang penulis asal Oklahoma City, Amerika Serikat merilis The Rough Guide to Climate Change.
Di buku itu dia sebutkan bahwa satu hektar kebun kelapa sawit bisa menyerap 64,5 ton Karbon Dioksida (CO2) dan menghasilkan sekitar 18,7 ton Oksigen (O2).
Angka ini lebih besar ketimbang satu hektar hutan tropis yang hanya mampu menyerap CO2 sebanyak 42,4 ton dan menghasilkan 7,09 ton O2.
Kalau luas kebun kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektar, berarti saban tahun kebun kelapa sawit Indonesia menyerap sekitar 1.056,51 juta ton karbon dioksida (CO2) dan menghasilkan sekitar 306,306 juta ton oksigen (O2).
Angka di atas berbanding lurus juga dengan apa yang disodorkan oleh Forestry and Forest Products Research Institute bahwa sawit mampu menyerap 25 ton CO2 perhektar pertahun. Sementara hutan hanya bisa menyerap 6 ton CO2 perhektar pertahun.
"Selama ini kita melawan kampanye hitam hanya dengan cara defensif. Sekarang enggak lagi, kita akan ofensif. Kita urai kekurangan minyak nabati mereka," kata Eddy.
Bagi Sahat Sinaga, kebencian Amerika dan Eropa kepada sawit enggak sesuatu yang aneh lagi, "Kebencian itu malah sudah berubah menjadi ideologi," kata Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) ini.
Hanya saja, kebencian yang sudah mendarah daging itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Soalnya untuk urusan masak memasak hingga goreng menggoreng saja, Negeri Benua Biru dan Benua Merah ini masih bergantung pada minyak kelapa sawit.
Misalnya untuk membikin Pop-Corn, Kentucky dan Mc Donal. Bahkan untuk industri coklat serta makanan lain, sawit dipakai.
Alasannya sederhana saja. "Minyak kelapa sawit dalam bentuk Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) enggak mengandung trans-fat. Minyak ini punya karakteristik kayak Hydrogenated Oil," cerita ayah tiga anak ini.
Sementara di Eropa maupun Amerika, minyak yang dipakai justru bersumber dari Soybean. Minyak ini mengandung trans-fat yang berbahaya bagi kesehatan. Bisa membikin jantung dan pembulu darah bermasalah.
Soybean tadi kata jebolan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) 1973 ini, dihidrogenasi supaya hydrogenated oil nya bisa padat pada temperatur ruang dan tahan panas tinggi.
"Inilah yang dipakai untuk menggoreng. Tapi lantaran proses hydrogenasi tadi, minyak ini mengandung trans-fat," katanya.
Abdul Aziz