Jakarta, Gatra.com - Komisi IV DPR RI minta supaya pemerintah segera menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan yang selama ini melilit rakyat, tak hanya petani kelapa sawit, tapi juga hak-hak rakyat yang lain.
"Ini menjadi PR besar pemerintah yang musti segera dicarikan solusinya. Jangan sampai petani yang sudah hidup dari lahan itu digusur tanpa ada kompensasi yang jelas," kata anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan saat berbincang dengan Gatra.com, Senin (15/2).
Dan terkait kawasan hutan yang diklaim pemerintah kata kader Partai Kebangkitan Bangsa ini, musti jelas batas-batasnya biar ke depan tidak menjadi polemik berkepanjangan.
Saat ini kata lelaki 48 tahun ini, sudah ada Undang-undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja (UUCK) yang mengakomodir persoalan kawasan hutan tadi.
Hanya saja, dalam penyelesainya perlu dilakukan dengan cermat dan tepat, jangan pula sampai bertele-tele dan mempersulit.
"Kami mendorong pemerintah agar dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UUCK tadi, memasukan mekanisme penyelesaian lahan sawit rakyat biar cepat kelar dan kepastian masa depan sawit nasional pun ada," kata senator dapil Kalimatan Barat I ini.
Pemerintah kata Daniel harus mengambil langkah cepat dan tepat agar persoalan yang sudah berkepanjangan itu segera terselesaikan.
"Sampai kapan kita akan terus berada dalam masalah? Enggak akan maju-maju kita kalau begini terus, mengulur-ulur penyelesaian masalah. Kami berharap RPP tidak bertele-tele, jangan bikin sulit orang saat pelaksanaan di lapangan," pinta Daniel.
Sebelumnya Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Budi Mulyanto mengatakan bahwa hak-hak atas tanah yang sudah dilengkapi legalitas yang dikeluarkan oleh pemerintah, jangan dimasukkan ke dalam kawasan hutan.
"Kepala Desa juga pemerintah, kalau dia sudah mengeluarkan legalitas hak, mestinya dihargai," kata anggota Tim Serap Aspirasi RPP-UUCK ini.
Hak atas tanah kata lelaki 64 tahun ini adalah final, sebab sudah mengikuti perundangan dan melibatkan instansi terkait.
"Dari jaman belanda, hak-hak pribumi itu diakui, namanya Indonesisch bezitsrecht. Ini maknanya adalah bahwa hak atas tanah masyarakat pada jaman penjajahan diakui. Karena itu hak azasi manusia, sudah selayaknya hak atas tanah masyarakat itu diakui dan dihargai. Masak setelah merdeka, menjadi bangsa, mempunyai negara yang diperintah oleh bangsa sendiri hak atas tanah itu malah enggak diakui. Kita harus ingat, yang memperjuangkan dan yang membangun NKRI ini adalah rakyat Indonesia, janganlah mereka enggak dihargai," tegas Budi.
Kalau saja penataan kawasan hutan itu dijalankan sesuai dengan pasal 14 dan 15 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan beserta Putusan MK 35 tahun 2012 dan Putusan MK 45 tahun 2011, sengkarut kawasan hutan kata Budi tidak akan terjadi sengkarut seperti saat ini.
Sebab di undang-undang itu sudah diatur dengan jelas bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui empat tahapan.
Tahapan penataan batas menjadi tahapan yang paling penting, dan harus dilakukan bersama-sama masyarakat dalam menentukan batas, karena batas itu harus disetujui oleh pihak-pihak yang berbatasan dengan menerapkan azas contradictiore delimitatie.
"Kalau pemerintah mau membatas kawasan hutan, rakyat sekitar dan yang ada di dalam hutan musti dilibatkan, biar bisa didapat garis batas yang sama-sama diakui kedua pihak, dengan begitu, legitimasinya akan tinggi" katanya.
Dalam Rapat Koordinasi (rakor) Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Pusat yang digelar secara webinar beberapa waktu lalu, Wakil Menteri KLHK, Alue Dohong mengatakan kalau sampai sekarang penataan batas kawasan hutan memang masih menjadi masalah.
Salah satunya oleh anggaran yang cekak. "Kami butuh duit sekitar Rp1,2 triliun untuk menuntaskan tata batas.
Tapi itu tadilah, untuk tahun 2021 saja, dari Rp400 miliar yang kami ajukan, yang disetujui cuma Rp20 miliar. Gimana kita mau bisa cepat kalau kayak begini," keluhnya.
Abdul Aziz