Jakarta, Gatra.com - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Bambang Brodjonegoro menegaskan, untuk mewujudkan mimpi Indonesia menjadi negara maju berpendapatan tinggi pada 2045, perlu ada perubahan paradigma ekonomi dari yang berbasis sumber daya alam menjadi berbasis inovasi.
Karenanya, kualitas riset dan inovasi Indonesia perlu dikuatkan. Selain itu, hasil riset para peneliti di Indoensia juga perlu penerapan di lapangan. “Jangan sampai terhenti di lab atau publikasi, tapi harus dilanjutkan ke arah industri. Itulah inovasi sebenarnya. Inovasi yang langsung disukai masyarakat,” tandasnya dalam acara focus group discussion (FGD), bertema Urgensi Terbentuknya Organisasi dan Kelembagaan Kemenristek/BRIN yang digelar Selasa (9/2/) lalu.
Menurut Bambang, riset dan inovasi adalah kunci bagi Indonesia untuk bisa membuat kekayaan alam Indonesia yang selama ini kurang dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, karena hanya dimanfaatkan secara ekstraktif untuk bisa dikembangan sehingga bisa memiliki nilai tambah yang tinggi.
Karenanya, kegiatan riset dan inovasi yang terintegrasi sebagai rumah para ilmuwan diperlukan untuk membentuk ekosistem riset dan inovasi di Indonesia. Nantinya, ini bisa menjadi dasar untuk mewujudkan ekonomi berbasis inovasi melalui hilirisasi riset, peningkatan nilai tambah, dan inovasi yang menjadi substitusi impor.
Sayangnya untuk bisa memicu minat riset dan inovasi para peneliti di Indonesia masih kekurangan dukungan, khususnya soal pendanaan. Berdasarkan rilis Global Innovation Index (GII) pada 2020, Indonesia berada di urutan ke-85 dari 131 negara paling inovatif di dunia. Peringkat ini tidak berubah sejak tahun 2018. Di ASEAN, Indonesia menempati urutan kedua terbawah di atas Kamboja.
Sementara di kelompok negara berpenghasilan menengah ke bawah, Indonesia menempati urutan ke-9 dari 29 negara. Peringkat ini menunjukkan bahwa riset dan inovasi di Indonesia, jalan di tempat.
Selain itu, penyumbang dana riset di Indonesia masih dipegang oleh pemerintah dengan porsi 80 persen, sedangkan sektor privat hanya 20 persen. Kondisi ini terbalik jika dibandingkan dengan Korea Selatan atau Singapura yang justru punya proporsi pendanaan sektor swasta mencapai sekitar 80 persen.
Di sisi lain, dana riset yang digelontorkan pemerintah hanya berkisar 0,25 persen dari PDB. Jauh dibandingkan China (peringkat 14 GII) yang mengalokasikan 4 persen PDB untuk riset.
Selain soal dana, masalah lain yang menghambat terbentuknya sistem inovasi berbasis riset di Indonesia adalah karena hasil penelitian yang tumpang tindih sehingga tidak terjadi pemanfaatan yang terfokus.
Maka dari itu, kata Bambang, perlu dibentuk Organisasi Pelaksana Riset dan Inovasi serta invensi dan inovasi di lingkungan BRIN yang menerapkan pola kelembagaan minim birokrasi dengan lebih memberikan keleluasaan pada SDM Iptek untuk menjalankan kegiatan riset dan inovasi yang lebih terintegrasi.
Sayangnya, sampai saat ini Pemerintah masih belum mengeluarkan Peraturan Presiden terkait pembentukan kelembagaan BRIN yang telah amanatkan Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2020. Selain itu, pembentukan BRIN juga telah ditetapkan dalam UU No 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SNIPT)Ini karena Kementerian Hukum dan HAM belum mencatat dan mengumumkan secara resmi.
Padahal, Perpres ini dinilai menjadi dasar penataan lembaga riset dan inovasi di Indonesia, serta sebagai tindak lanjut dari amanat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional IPTEK.
Menteri Bambang juga memaparkan kendala lain yang dihadapi soal ini adalah karena keterbatasan anggaran. Kemenristek/BRIN hanya mendapatkan anggaran sekitar Rp 2,7 triliun. Padahal seharsnya inovasi ini bisa menjadi daya dorong ekonomi dalam negeri.
“Investasi itu syarat percepatan pertumbuhan ekonomi. Investasi sangat diperlukan, tapi tidak cukup dengan itu. Investasi besar, tapi harus komplit hingga bisa menumbuhkan investasi dari dalam negeri, tak hanya mengandalkan investasi asing. Tak cukup dengan investasi, karena investasi ada batasnya, apalagi kalau tidak ada transfer teknologinya untuk kita,” paparnya.
Nantinya agar inovasi menjadi salah satu asset penting bagi negara, maka Susunan organisasi BRIN dalam perpres Indonesia, lanjut Bambang, harus mengedepankan inovasi agar pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dalam tempo panjang, seperti yang pernah dilakukan Korea Selatan sehingga menjadi high income country dengan income per capita di atas US$ 12.535.
Ia mengatakan, untuk menciptakan perekonomian yang tinggi dan berkelanjutan, selain Korea, Indonesia juga bisa meniru Jepang. “Basis inovasi menjadi negara maju adalah riset dan teknologi, seperti Korsel. Dengan menjadi inovatif, suatu negara bisa keluar dari middle income trap,” tegasnya.